Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Wednesday, November 21, 2012

Budaya Munjungan Di Leuwimunding Majalengka


Dari tinjauan kebahasaan, istilah munjung atau ngunjung mempunyai arti mengunjungi, menghadiri atau dalam bahasa agama berziarah. Munjung secara bahasa berarti juga memuja atau melaksanakan persembahan. Istilah lain yang juga merupakan perkembangan makna dan mempunyai arti sama ialah sedekah makam. Namun, bagi masyarakat Leuwimunding, Majalengka, istilah yang telah lazim penyelenggaraan ritual ini disebut munjung. Ritual munjung secara teknis dilakukan dengan melaksanakan ziarah ke makam para leluhur. Karena kondisi geografis pemakaman di desa ini mempunyai lima area pemakaman, penyelenggaraan munjung dipusatkan di lima tempat tersebut. Istilah pemakaman di desa ini banyak juga yang menyebut maqbaroh, sebuah istilah serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti sama dengan tempat kubur atau pemakaman. Kelima tempat itu ialah kompleks pemakaman Jagakerti, Cibatur, Caruy, Karamat, dan Pengkeur Masjid (di sebelah belakang masjid).

Semua tempat yang menjadi titik konsentrasi ritual munjung itu mempunyai sejarahnya masing-masing. Tidak ada data yang menginformasikan mengenai waktu pertama kali ritual munjung dan bongkar bumi ini diadakan di desa ini. Namun berdasarkan cerita-cerita masyarakat setempat, konon munjung dan bongkar bumi ini telah ada semenjak zaman Hindu. Jika pendapat ini yang dipegang, sanggup disimpulkan bahwa dua ritual ini telah terselenggara sekitar era ke-15 atau tahun 1400an. Pada tahun-tahun inilah, Leuwimunding kala itu masih berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan Galuh yang menganut agama Hindu. Namun demikian pendapat pertama ini mengandung kelemahan. Salah satunya ialah adanya penggalan zaman yang amat jauh dengan pembukaan lahan perhutan pertama kalinya untuk komunitas insan yang mendiami kawasan Leuwimunding ini. Hal ini diperkuat dengan pendapat Ki Olin bahwa pada era 15 kawasan Leuwimunding masih hutan belantara atau mustahil sudah dihuni sekelompok manusia.

Berbeda dengan uraian di atas, ritual munjung dan bongkar bumi ini dimungkinkan untuk pertama kalinya diadakan semenjak ke-18. Pendapat ini merujuk pada momentum pembagian kekuasaan pemerintahan era Rafflesia yang menempatkan Leuwimunding menjadi order district, sebuah penyebutan untuk kewedanan pada era Orde Baru.

Pemerintahan desa kala itu telah mempunyai kuwu atau kepala desa serta terstruktur berdasarkan komposisi kebutuhan masyarakat. Bahkan, konon berdasarkan cerita, terjadinya reduksi terhadap ritual munjung dan bongkar bumi yang mensaratkan para pamong desa untuk ‘nenggak’, meminum air alkohol dan mabuk di arena ritual itu terjadi dipengaruhi oleh mental penjajah yang hedonis atau memburu kenikmatan lahiriyah. Ritual munjung dan bongkat bumi yang mempunyai dimensi transendental sebagai wujud persembahan kepada para karuhun (leluhur), ternodai dengan iklim mewah pihak kompeni.

Adanya dua tinjauan kesejarahan yang berbeda ini memperlihatkan bahwa baik munjung maupun bongkar bumi telah hadir semenjak peradaban insan untuk pertama kalinya bermukim di wilayah desa ini. Adapun motivasi awalnya lebih ditujukan sebagai mulut atas keseimbangan antara bencana insan dengan alam semesta. Pencerminan ini sanggup dilihat pada ketundukan insan terhadap siklus alam, di mana perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan atas pergantian ekspresi dominan menuju ekspresi dominan penghujan. Karena ekspresi dominan penghujan inilah, diyakini oleh masyarakat setempat telah membawa keberkahan dan keluasan rizki, terutama bagi kaum petani yang mempunyai lahan sawah.

Dari segi kronologis, sejarah ritual penyambutan pergantian ekspresi dominan ini sebetulnya terdiri dari tiga tahap, yaitu munjung, bongkar bumi dan kemudiaan diakhiri dengan ritual mapag Sri. Dua tahap pertama sampai dikala ini masih dilestarikan, meski telah terjadi modifikasi dalam aneka macam sisi. Sementara tahap terkahir, berupa mapag Sri yang juga mempunyai arti menyambut Dewi Sri, tidak lagi diselenggarakan. Bagi banyak kawasan yang mempunyai latar belakang budaya yang berkarakter agraris, tokoh Dewi Sri hadir di tengah masyarakat petani sebagai sumber ilham dan dipercaya pelindung bagi kesuburan tanah dan padi. Upacara yang menekankan arti penting kehadiran sosok Dewi Sri ini dilakukan ketika memulai ekspresi dominan panen dan menjelang penanaman bibit padi.

Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, ketiga ritual tersebut telah menjadi rutinitas terutama ekspresi dominan penghujan tiba. Di samping sebagai bentuk penghormatan terhadap siklus alam wacana pergantian musim, bagi kalangan petani di desa ini ritual tersebut seolah menjadi kewajiban untuk dilaksanakan, dengan cita-cita supaya tumbuhan yang hendak ditanam –terutama padi– sanggup menghasilkan padi yang berlimpah, subur dan tidak diganggu oleh aneka macam bentuk hama. Begitu juga ketika memasuki ekspresi dominan panen, ada upacara adat yang dilakukan oleh para petani yang dikenal dengan ‘Mipit’, yang berarti mengawali ekspresi dominan panen.

Tingginya penghormatan masyarakat terhadap kebudayaan lokal dalam bidang pertanian ini, tidak sanggup terlepas dari kepercayaan nenek moyang dan telah usang dipegang oleh masyarakat petani Leuwimunding di masa kemudian wacana peranan Dewi Sri. Tokoh Dewi Sri yang berkembang dalam sastra Sunda, berdasarkan penelitian Hidding, dikenal dengan sebutan Nyi Pohatji Sanghyang Sri dan sering dikaitkan dengan mitos asal mula adanya padi di Jawa Barat. Dalam banyak literatur, terutama kehidupan masyarakat Jawa dan Sunda, Dewi Sri merupakan tokoh yang cukup terkenal, terutama di kalangan masyarakat petani. Dalam masyarakat petani Jawa dan Sunda, tokoh Dewi Sri sering diidentikkan dengan dewi padi, dewi kekayaan, dewi kesuburan dan kemakmuran, dewi yang melimpahi ketenaran, kesuksesan, yang sanggup memberi umur, panjang, sehat, dan banyak anak. Oleh lantaran posisinya yang amat sentral, masyarakat petani di masa lampau sangat menawarkan penghormatan terhadap keberadaan tokoh Dewi Sri, sebagaimana terlihat dalam adat istiadat dan tradisi budaya Jawa-Sunda. Salah satu tradisi yang mencerminkan terhadap adanya kepercayaan dan penghormatan terhadap tokoh Dewi Sri, sanggup dilihat dalam sikap dan perlakuan masyarakat agraris Jawa dan Sunda terhadap padi.

Dalam memperlakukan padi, masyarakat petani Jawa dan Sunda, khususnya di kawasan pedesaan, tidak akan bersikap sembarangan dan mengambil sikap yang sangat berhati-hati, penuh kasih dan hormat, sebagaimana memperlakukan insan yang dikasihi dan dihormati.

Sebagaimana dalam penelitian Santikno yang menyebutkan adanya keterkaitan Dewi Sri dengan konsep Dewi Ibu dalam kebudayaan masyarakat Agraris. Menurutnya, Sri atau Tisnawati dianggap sebagai lambang atau perumpamaan biji tanaman. Dalam proses pertumbuhan suatu tanaman, pada umumnya biji harus ditanam di dalam tanah terlebih dahulu, dan biji akan hancur apabila tumbuhan tersebut tumbuh. Uraian singkat inilah yang kemudian berdasarkan Santikno, berkaitan akrab dengan menjawab mitos asal mula adanya padi yang dilukiskan tumbuh dari kuburan mayat Dewi Sri atau Dewi Tisnawati.

Berbeda dengan Santikno, ketokohan Dewi Sri di Indonesia dalam banyak kemiripan dongeng berdasarkan penelitian Pitono, mempunyai kekerabatan dengan tokoh di India. Bahkan, berdasarkan Pitono, dasar-dasar padi itu telah ada di Indonesia sebelum kedatangan kebudayaan Hindu, lantaran pulau Jawa atau nusantara ialah negara agraris. Adapun mitos Dewi Sri dari India hanyalah memperluas mitos padi yang telah ada di Indonesia. Sementara itu, berdasarkan penelusuran kesejarahan, berdasarkan penelitian Rassers, tokoh Dewi Sri dijelmakan sebagai putri Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita yang bersaudara dengan Raden Sadana, dan dongeng Dewi Sri sebagai bidadari istri Dewa Wisnu di Kahyangan, yang lantaran dikejar-kejar oleh Kalagumarang kemudian turun ke dunia.

Tampilnya Dewi Sri sebagai tokoh dan sekaligus sebagai pusat magnet dalam struktur budaya munjung, bongkar bumi dan mapag Sri memperlihatkan bahwa ritual tersebut mempunyai ketergantungan dengan dunia gaib. Dalam studi antropologi, sikap masyarakat semacam ini sanggup tergolong pada kelakuan keagamaan atau religious behaviour. Dengan kata lain, sanggup jadi ritual-ritual tersebut juga merupakan perwujudan bentuk kegiatan atau kegiatan untuk menawarkan rasa cinta kepada Dewi Sri, supaya tanaman-tanaman dijaga, tanahnya subur dan melimpah hasilnya. Masyarakat Leuwimunding di zaman lampau yang masih mempunyai struktur kepercayaan terhadap dunia mistik inilah yang menempatkan Dewi Sri sebagai causa prima, terutama dalam bidang pertanian. Walaupun tata cara ritual munjung, bongkar bumi, dan mapag Sri tersebut banyak efek Hindu, namun pelaksanaannya sampai sekarang mengalami perubahan dalam aneka macam sisi, termasuk substansinya.

Previous
Next Post »

Post a Comment