Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Monday, May 6, 2013

Wayang Golek, Teater Boneka Dari Pasundan


Seperti yang kita tahu bersama bahwa seni budaya wayang di Nusantara ini begitu banyak variannya dari mulai wayang kulit, wayang beber, wayang thithi, wayang suket, wayang golek, wayang potehi sampai wayang orang. Dari sekian banyak varian wayang ini akan mencoba sedikit membahas ihwal satu jenis wayang yang berasal dari tatar Pasundan. Wayang golek, begitu seni budaya ini lebih dikenal. Sebenarnya wayang golek pun terbagi dalam dua sub genre yakni wayang golek cepak yang berkembang di tempat pesisir Cirebon dan wayang golek purwa yang lazim berpentas di tempat Pasundan.

Nah, konon lantaran wayang golek cepak yang berkembang di wilayah Cirebon merupakan sempalan dari wayang golek purwa maka berbeda dengan wayang golek cepak, pakem penceritaan yang biasa dipentaskan dalam wayang golek purwa ini lebih saklek dengan merujuk pada pakem wayang pada umumnya, mirip sumber penceritaan wayang yang berasal dari dua kisah epik yakni Mahabharata dan Ramayana, dibagi dalam beberapa babak pertunukan, dan sebagainya.

Jika kita kembali ke belakang, merujuk pada beberapa hasil penelitian para ahli, konon wayang golek ini sudah ada semenjak masa animisme dan dinamisme (sekitar 1500 tahun SM). Pada mulanya, beberapa andal wayang menyatakan bahwa seni pertunujukan wayang berasal dari India, lantaran merujuk pada sumber kisah wayang sendiri yang diambil dari dua epik populer asal India yakni Mahabharata dan Ramayana. Tapi, sehabis dilakukan penelitian lebih jauh, para andal kemudian berkesimpulan bahwa wayang ialah kreasi orisinil orang Indonesia, lantaran tidak ada pertunjukan yang sama ditemukan dalam budaya lain.

Pada awalnya, pertunjukan wayang ialah sebuah pertunjukan suci untuk keperluan upacara dan ritual-ritual keagamaan. Hanya saja dalam perkembangannya kemudian pertunjukan wayang ini lambat laun menjadi multi fungsi, dalam artian pertunjukan wayang tidak lagi hanya dipentaskan pada acara-acara sakral saja tapi juga sanggup dipetaskan pada acara-acara biasa mirip halnya seni budaya lainnya mirip untuk memeriahkan hajatan perkawinan, khitanan, pelantikan gedung, dan sebaginya, meski memang tugas pertunjukan wayang masih juga tak tergantikan pada beberapa program yang sakral dan bersifat sepirituil mirip pada upacara ruwatan, mengusir roh jahat, mapag sri, bongkar bumi dan sebagainya.

Mengenai pertunjukan suci yang kerap melibatkan pertunjukan wayang sebagai medium berinteraksi dengan dunia lain (dunia roh) ini terkait dengan kultur budaya di nusantara yang memang semenjak dahulu kala agama atau doktrin di nusantara ini memiliki relasi yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidaklah mengherankan apabila pada awalnya, wayang diciptakan sebagai pertunjukan arwah nenek moyang. Bahkan pada masa kini pun, banyak orang yang masih percaya akan keberadaan arwah nenek moyang dalam benda-benda tertentu, yang dianggap memiliki kekuatan supranatural. Benda-benda tersebut, yang pada umumnya disebut jimat, terdiri dari keris, cincin, kalung, atau benda-benda sakti lainnya. Dalam usahanya untuk menghindarkan ancaman yang dibawa oleh arwah yang jahat, rakyat percaya bahwa mereka sanggup mengandalkan santunan dari arwah nenek moyang dengan mengundang mereka dan menunjukkan tempat khusus, yang disebut unduk, sebuah boneka yang dibentuk dari batang padi. Orang yang memiliki keahlian mengundang arwah nenek moyang, disebut dukun. Sebenarnya, boneka inilah asal seruan wayang. Beberapa orang andal menyatakan bahwa kata wayang berasal dari wa (wadah) yang berarti tempat dan yang atau hyang, yang berarti dewa. ( Okke K.S. Zaimar dalam tesisnya yang berjudul Wayang Golek)

Konon berdasarkan beberapa babad yang saya baca, kesenian wayang golek yang kita kenal kini ini ialah satu seni budaya yang umurnya jauh lebih muda dari wayang kulit. Wayang golek ini lahir lantaran didesak oleh kebutuhan tertentu mengingat kala itu mementaskan wayang kulit di siang hari merupakan kebiasaan yang tak lazim. Wayang kulit yang pada dikala kali pertama ada hanya sanggup dipentaskan pada malam hari dengan menggunakan cahaya blencong (sejenis penerangan khusus yang menggunakan minyak tanah). Nah, untuk memfasilitasi kebutuhan pertunjukan wayang di siang hari inilah kemudian tercipta seni budaya wayang yang menggunakan medium wayang tiga dimensi berbentuk golek (boneka) yang sanggup dipentaskan pada siang hari.

Kemudian masuklah Islam ke nusantara, dan mirip halnya kesenian tradisional lainnya, oleh para wali kesenian wayang golek pun dijadikan sebagai alat penyebaran dan pengenalan agama islam dengan pendekatan budaya. Dan karena, dalam syariat Islam tak diperbolehkan memuat segala sesuatu yang ibarat bentuk dan sosok manusia, maka bentuk wayang golek yang semula bentuknya begitu mirip dengan insan pun dirubah sedemikian rupa biar tak lagi ibarat sosok manusia. Itulah sebabnya maka bentuk wayang bermetamorfosis bentuk mahluk yang toh masih sangat mirip dengan manusia, meskipun segera tampak bahwa wayang itu bukan representasi manusia. Wajah dan tubuhnya dibentuk sangat langsing, sedangkan tangannya tidak menampilkan proporsi yang baik dengan penggalan badan yang lain. Sunan Kudus-lah wali pertama yang konon mementaskan pertunjukan wayang golek dengan bentuk gres ini.

Meski tak lagi berbentuk layaknya manusia, tokoh-tokoh yang diperankan oleh boneka ini tetap saja merupakan representasi dari tokoh-tokoh khusus dalam cerita-cerita epik yang dikisahkan. Tapi lantaran huruf boneka tak lagi sanggup menggambarkan perasaan-perasaan maupun moral dari sang tokoh yang diperankannya, maka disinilah tugas penting sang dalang. Sang dalang yang memainkan wayang pun dituntut untuk sanggup menggambarkan perasaan tokoh yang terdapat dalam sebuah lakon disamping juga menjadi narrator yang menjembatani komunikasi satu arah antara tokoh dalam wayang dengan pera penonton. Perasaan para tokoh juga sanggup diperlihatkan melalui lagu yang ditembangkan para pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para nayaga (pemain musik). Semuanya bersinergi satu sama lain untuk memunculkan huruf dan citra perasaan dari sebuah pertunjukan wayang yang sanggup dimengerti dan menjadi sedemikian hidup di dalam benak penonton.

Previous
Next Post »

Post a Comment