Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Saturday, November 17, 2018

Abu Nawas Dan Pengemis Kedinginan

Scud Story ialah Portal Edukasi yang memuat artikel ihwal Hikayat Abu Naw Abu Nawas dan Pengemis Kedinginan
Scud Story ialah Portal Edukasi yang memuat artikel ihwal Hikayat Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Ada seorang saudagar di Bagdad yang memiliki sebuah kolam yang airnya populer sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.

“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, saya beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu. Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling usang hanya bisa hingga sepertiga malam.

Pada suatu hari tiba seorang pengemis kepadanya. “Maukah kau berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kau tahan saya beri hadiah sepuluh ringgit,” kata si saudagar. “Baiklah akan kucoba,” jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu hambar sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian. “Kalau begitu nanti malam kau bisa berendam disitu,” kata si saudagar.

Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu. “Istriku,” kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila saya berendam semalam di kolam saudagar itu untuk menerima uang sepuluh ringgit? Kalau kau baiklah saya akan mencobanya.” “Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.” Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kau boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”

Setelah hingga waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan hingga tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi lantaran mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan biar airnya tidak terlalu hambar lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi anaknya tiba menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat besar hati saat dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu hingga pagi.

Siang harinya pengemis itu bangun dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku tidak mau membayar, lantaran anakmu menciptakan api di tepi kolam, kau pasti tidak kedinginan.” Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak hingga ke tubuh saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air?” “Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, saya tunggu.”

Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak sanggup uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu malahan membenarkan perilaku sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.

“Kemana lagi saya akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.” Doanya dalam hati. Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan. “Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, saat melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah.” “Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan peristiwa alam yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya. “Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah saya sanggup membantu menuntaskan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, pasti kau menang dengan izin Allah.” “Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada problem apa gerangan hari ini?” “Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda tiba kerumah patik, lantaran patik punya hajat.” “Kapan saya mesti tiba ke rumahmu?” tanya baginda Sultan. “Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawab Abu Nawas. “Baiklah,” kata Sultan, saya pasti tiba ke rumahmu.”

Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas pribadi ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas memberikan permintaan untuk tiba kerumahnya senin depan.

Hari senin yang ditunggu, semenjak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api. Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan.

Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.” Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun saat matahari telah hingga ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan. “Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda. “Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.

Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi saat waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya. “Hai Abu Nawas, mengapa kau menciptakan api di bawah pohon menyerupai itu? Tanga baginda Sultan. Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya. “Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?” “Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas. “Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah. “Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kau tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”

“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat hambar dan akan diupah sepuluh ringgit jikalau bisa bertahan satu malam. Si pengemis baiklah lantaran mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melakukan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis menciptakan api di pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan perilaku tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan perilaku si saudagar. “Itulah sebabnya patik berbuat menyerupai ini.” “Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, lantaran apinya terlalu jauh.” “Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya menciptakan api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu menyampaikan bahwa si pengemis tidak berendam di air lantaran ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”

Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak sanggup membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, lantaran memang demikian halnya. “Sekarang saya ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan di aturan selama satu bulan lantaran sudah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan orang-orang pembesar di aturan empat hari lantaran berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar.” Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah memberikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum kesudahannya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga. Akan halnya Abu Nawas, ia pun bahwasanya perutnya keroncongan dan kehausan.



Previous
Next Post »

Post a Comment