Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Thursday, November 15, 2018

Cerita Legenda Gunung Kelud

 ada seorang raja berjulukan Raja Brawijaya yang bertahta di Kerajaan Majapahit Cerita Legenda Gunung Kelud
Dikisahkan, di tempat Jawa Timur, ada seorang raja berjulukan Raja Brawijaya yang bertahta di Kerajaan Majapahit. Ia mempunyai seorang putri yang jelita berjulukan Dyah Ayu Pusparani. Sang Putri mempunyai keindahan badan yang sangat mempesona. Sudah banyak pengeran tiba melamar, namun Prabu Brawijaya belum mendapatkan satu pun lamaran semoga tidak terjadi kecemburuan di antara pelamar yang lain. Di sisi lain, penguasa Majapahit itu juga tidak ingin menolak secara eksklusif lantaran takut mereka akan menyerang kerajaannya.

Setelah berpikir dengan keras, Prabu Brawijaya menemukan sebuah cara, yaitu ia akan mengadakan sayembara bahwa barang siapa yang berhasil merentang busur sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat Pusaka gong Kyai Sekardelima maka dialah yang berhak mempersunting putrinya. Ia memerintahkan para pengawalnya untuk memberikan pengumuman tersebut kepada seluruh rakyatnya, termasuk kepada para raja dan pangeran dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Pada dikala yang telah ditentukan, para penerima dari aneka macam penjuru negeri telah berkumpul di alun-alun Kerajaan. Prabu Brawijaya duduk di atas singgasananya dan didampingi oleh permaisuri dan putrinya. Setelah busur Kyai Garudyeksa dan gong Kyai Sekadelima disiapkan, Prabu Brawijaya segera memukul gong mengambarkan program dimulai. Satu persatu penerima sayembara mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk merentang busur dan mengangkat gong tersebut, namun tak seorang pun yang berhasil. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang menerima musibah. Ada yang patah tangannya lantaran memaksakan diri merentang busur sakti itu, dan ada pula yang patah pinggangnya ketika mengangkat gong besar dan berat itu.

Ketika Prabu Brawijaya akan memukul gong untuk menutup sayembara itu, tiba-tiba datanglah seorang perjaka berkepala lembu hendak mengandu keberuntungan. “Ampun, Gusti! Apakah hamba diperkenankan untuk mengikuti sayembara ini?” tanya perjaka itu. “Hai, Siapa namamu?” tanya Prabu Brawijaya. “Nama hamba Lembu Sura,” jawab perjaka itu.

Prabu Brawijaya beranggapan bahwa perjaka itu tidak akan bisa merentang busur sakti dan mengangkat gong besar itu. Ia pun mengizinkannya mengikuti sayembara itu sebagai penerima terakhir. “Silakan! Kamu boleh mengikuti sayembara ini,” ujar Prabu Brawijaya. Lembu Sura pun menyanggupi persyaratan itu. Dengan kesaktiannya, ia segera merentang busur Kyai Garudayaksa dengan mudah. Keberhasilan Lembu Sura itu diiringi oleh tepuk tangan meriah para penonton. Sementara itu, Putri Dyah Ayu Pusparani terlihat cemas, lantaran ia tidak ingin bersuamikan insan berkepala lembu.

Ketika Lembu Sura menghampiri gong Sekardelima, semua yang hadir tampak tegang, terutama sang Putri. Ia sangat berharap semoga Lembu Sura gagal melewati ujian kedua itu. Tanpa diduganya, perjaka berkepala lembu itu ternyata bisa mengangkat gong Sekardelima dengan mudah. Tepuk tangan penonton pun kembali bergema, sedangkan Putri Dyah Ayu Purpasari hanya terdiam. Hatinya sangat duka dan dan kecewa. “Aku tidak mau bersuami orang yang berkepala lembu,” seru sang Putri seraya berlari masuk ke dalam istana.

Mendengar ucapan putrinya itu, Prabu Brawijaya eksklusif terkulai alasannya yaitu sudah mengecewakan putrinya. Namun sebagai seorang raja, ia harus menepati janjinya untuk menjaga martabatnya. Dengan demikian, Putri Dyah Ayu Pusparani harus mendapatkan Lembu Sura sebagai suaminya. "Hadirin sekalian! Sesuai dengan janjiku, maka Lembu Sura yang telah memenangkan sayembara ini akan kunikahkan dengan putriku!” seru Prabu Brawijaya.

Seluruh pesarta sayembara pun berlomba-lomba menawarkan ucapan selamat kepada Lembu Sura. Sementara itu, di dalam istana, Putri Dyah Ayu Pusparani menangis tersedu-sedu menyesali nasibnya. Berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan dan minum. Melihat tuannya sedang sedih, seorang Inang pengasuh berusaha membujuk dan menasehatinya. “Ampun, Tuan Putri! Jika Tuan Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura, sebaiknya Tuan Putri segera mencari jalan keluar sebelum hari ijab kabul itu tiba,” ujar Inang pengasuh.

Mendengar nasehat itu, sang Putri eksklusif terperanjat dari tempat tidurnya. “Benar juga katamu, Mak Inang! Kita harus mencari nalar semoga pernikahanku dengan orang yang berkepala lembu itu dibatalkan. Tapi, apa yang harus kita lakukan? Apakah Mak Inang mempunyai usul?” tanya sang Putri bingung. Inang pengasuh hanya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Setelah berpikir keras, karenanya Inang pengasuh menemukan sebuah jalan keluar. “Ampun, Tuan Putri! Bagaimana kalau Tuan Putri meminta satu syarat yang lebih berat lagi kepada Lembu Sura?” undangan Inang pengasuh. “Apakah syarat itu, Mak Inang?” tanya sang Putri penasaran. “Mintalah kepada Lembu Sura semoga Tuan Putri dibuatkan sebuah sumur di puncak Gunung Kelud untuk tempat mandi kalian berdua sehabis program ijab kabul selesai. Tapi, sumur itu harus selesai dalam waktu semalam,” undangan Mak Inang.

Putri Dyah Ayu Pusparani pun mendapatkan ajuan Inang pengasuh dan segera menyampaikannya kepada Lembu Sura. Tanpa berpikir panjang, Lembu Sura menyanggupi persyaratan itu. Pada sore harinya, berangkatlah ia ke Gunung Kelud bersama keluarga istana, termasuk sang Putri.

Setibanya di Gunung Kelud, Lembu Sura mulai menggali tanah dengan memakai sepasang tanduknya. Dalam waktu tidak berapa lama, ia telah menggali tanah cukup dalam. Ketika malam semakin larut, galian sumur itu semakin dalam. Lembu Sura sudah tidak tampak lagi dari bibir sumur. Melihat hal itu, Putri Dyah Ayu Pusparani semakin panik. Ia pun mendesak ayahandanya semoga menggagalkan perjuangan Lembu Sura menciptakan sumur. “Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura,” keluh sang Putri dengan bingung.

Prabu Brawijaya pun tidak ingin mengecewakan putri kesayangannya untuk yang kedua kalinya. Setelah berpikir keras, karenanya ia menemukan sebuah cara untuk menghabisi nyawa Lembu Sura. “Pengawal! Timbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan besar!” seru Prabu Brawijaya. Tak seorang pun pengawal yang berani membantah. Mereka segera melakukan perintah rajanya. Lembu Sura yang berada di dalam sumur berteriak-teriak meminta tolong. “Tolooong...! Tolooong...! Jangan timbun saya dalam sumur ini!” demikian teriakan Lemu Sura.

Para pengawal tidak menghiraukan teriakan Lembu Suara. Mereka terus menimbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan. Dalam waktu sekejap, Lembu Sura sudah terkubur di dalam sumur. Meski demikian, suaranya masih terdengar dari dalam sumur. Lembu Sura melontarkan sumpah kepada Prabu Brawijaya dan seluruh rakyat Kediri lantaran sakit hati. “Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung". (Wahai orang-orang Kediri, suatu dikala akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan, dan Tulungagung menjadi tempat perairan dalam).

Dalam sumpahnya, Lembu Sura berjanji bahwa setiap dua windu sekali ia akan merusak seluruh wilayah kerajaan Prabu Brawijaya. Mendengar bahaya itu, Prabu Brawijaya dan seluruh rakyatnya menjadi ketakutan. Berbagai perjuangan pun dilakukan untuk menangkal sumpah Lembu Sura tersebut. Ia memerintahkan para pengawalnya semoga membangun sebuah tanggul pengaman yang kokoh (kini telah menjelma gunung berjulukan Gunung Pegat) dan menyelenggarakan selamatan yang disebut dengan larung sesaji. Meski demikian, sumpah Lembu Sura tetap juga terjadi. Setiap kali Gunung Kelud meletus, masyarakat setempat menganggap hal itu merupakan amukan Lembu Sura sebagai pembalasan dendam atas tindakan Prabu Brawijaya dan Putrinya.

Pesan Moral Cerita Legenda Gunung Kelud yaitu Bahwa orang yang suka mengingkari kesepakatan menyerupai Putri Dyah Ayu Pusparani dan Prabu Brawijaya sanggup mendatangkan tragedi kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Meletusnya Gunung Kelud yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa merupakan akhir dari ulah Prabu Brawijaya dan putrinya yang tidak menepati janjinya kepada Lembu Sura. Sifat suka mengingkari kesepakatan ini merupakan sifat tidak terpuji yang harus dijauhi, lantaran termasuk sifat orang-orang munafik.

Penjelasan singkat wacana Legenda Gunung Kelud
Gunung Kelud terletak di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Meskipun telah puluhan kali meletus dan memakan relatif banyak korban jiwa semenjak kurun ke-15 hingga kurun ke-20, gunung api ini menjadi salah satu obyek wisata menarik di tempat itu lantaran keindahan panorama alamnya. Gunung yang mempunyai ketinggian 1.730 meter di atas permukaan maritim ini semakin menarik minat para pengunjung lantaran setiap tanggal 23 Suro (penanggalan Jawa) masyarakat setempat menggelar program arung sesaji. Pagelaran program tersebut merupakan simbol Condro Sengkolo atau sebagai penolak bala dari tragedi akhir pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh putri Kerajaan Majapahit terhadap seorang perjaka berjulukan Lembu Sura.

Hingga dikala ini, masyarakat Kediri, khususnya masyarakat Desa Sugih Waras, secara rutin (yaitu setiap tanggal 23 Syura) menyelenggarakan program selamatan larung sesaji di sekitar kawah Gunung Kelud. Setidaknya ada dua pelajaran yang sanggup dipetik dari carita di atas yaitu pertama bahwa hendaknya kita jangan suka meremehkan kemampuan seseorang dengan hanya melihat bentuk fisiknya lantaran siapa menerka di balik semua itu tersimpan kekuatan yang luar biasa.

Scud Story memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan dongeng dan dongeng, mencakup unsur Intrinsik yaitu mencakup Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Post a Comment