Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Friday, November 16, 2018

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Scud Story yakni Portal Edukasi yang memuat artikel ihwal Kisah Sejarah K Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Scud Story yakni Portal Edukasi yang memuat artikel ihwal Kisah Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Masyarakat menduga bahwa awal masuknya agama Buddha ke Indonesia yakni pada kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal masa kesatu. Dugaan ini berawal dari etimologis terhadap Aji Saka itu sendiri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata ‘Aji’ dalam bahasa Kawi sanggup berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci, sedangkan ‘Saka’ ditafsirkan sebagai kata Sakya yang mengalami transformasi. Dengan demikian mungkin kata Aji Saka ditafsirkan sebagai gelar raja Tritustha yang jago mengenai kitab suci Sakya, dalam hal ini jago ihwal Buddha Dhamma, selain dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pembuatan abjad Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka yang permulaanya dinyatakan sebagai ‘Nir Wuk Tanpa Jalu’ (Nir berarti kosong (0), Wuk berarti tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan untuk mengabadikan pendaratan pertama ia di Jepara.

Sumber pengetahuan kita ihwal Agama Buddha diambil dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negri, yaitu dari orang China yang mengunjungi Indonesia. Prasasti yang berasal dari masa kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak menawarkan informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang mempunyai nama yang berbau India, ibarat Mulawarman di Kutei dan Purnawarman di Jawa-barat. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin yakni raja-raja tersebut yakni orang Indonesia orisinil yang sudah masuk agama yang tiba dari India. Selanjutnya prasasti tersebut menerangkan bahwa agama yang dipeluk yakni agama Hindu. tapi dari inovasi patung-patung Buddha, sanggup disimpulkan bahwa agama Buddha juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit.

Informasi paling renta ihwal keberadaan Agama Buddha di Jawa dan Sumatra didapat dari pengelana China berjulukan Fah-Hien, yang sekembalinya dari Ceylon ke China pada tahun 414 terpaksa mendarat di negri yang berjulukan Ye-Po-Ti sebab kapalnya rusak. Sekarang tidak terlalu terang apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatra. Beberapa jago menyampaikan bahwa Ye-Po-Ti yakni Jawa (Javadvipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Buddha di Ye-Po-Ti, walaupun cuma sedikit. Sekalipun demikian agaknya setelah masa kelima keadaan berubah.

Tidak hingga tiga ratus tahun kemudian, pada simpulan masa ketujuh, Biksu China I-tsing mencatat dengan lengkap agama Buddha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ketertarikan utamanya yakni pada ‘rumah agama Buddha’ India utara dimana I-tsing tinggal dan mencar ilmu disana selama lebih dari sepuluh tahun. Dari catatannya sanggup dikatakan bahwa agama Buddha di India dan Sumatra mempunyai banyak kesamaan, dimana I-tsing juga menemukan perbedaan antara agama Buddha di China dan di India.

I-tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai Biksu di India dan Sumatra. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap ihwal kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya menurut peraturan vinnaya.

Bila dibandingkan catatan Fah-Hien tahun 414 dengan catatan I-tsing, sanggup diambil kesimpulan bahwa agama Buddha dipulau Jawa dan Sumatra telah dibangun dengan sangat cepat. Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan ibarat dikemukakan diatas, ia juga menulis buku ihwal perjalanan seorang guru agama populer yang pergi ke negri disebelah barat (Sriwijaya ?). Diceritakannya pada catatannya itu, kehidupan biarawan yang pada pada dasarnya hampir sama dengan yang ada di India. Dalam bukunya dikatakan bahwa Biksu orisinil Jawa dan Sumatra yakni sarjana sanskrit yang sangat bagus. Salah saatunya yakni Jnanabhadra yang merupakan orang Jawa Asli yang tinggal di Sumatra dan bertindak sebagai guru bagi biksu China dan membantu menterjemahkan sutra kedalam bahasa China. Bahasa yang dipakai oleh biksu Buddha yakni bahasa sanskrit. Bahasa pali tidak digunakan. Bagaimanapun hal ini dihentikan dijadikan patokan bahwa agama Buddha yang berkembang disini yakni Mahayana. I-tsing menjelaskan dalam bukunya Agama Buddha dipeluk diseluruh negri ini dan kebanyakan sistem yang diadopsi yakni Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada sedikit yang mengadopsi Mahayana

Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama Buddha berbahasa sanskrit tidak melulu berarti Mahayana. Inilah bentuk agama Buddha yang mencapai kepulauan di bahari selatan. I-tsing menyampaikan di kepulauan di bahari selatan, Mulasarvastivadanikayo hampir secara universal di adaptasi. I-tsing sepertinya tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut Hinayana dan Mahayana. Dikatakannya :

Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra mahayana disebut penganut Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana. Kedua sistem ini sesuai dengan aliran Dhamma. Dapatkah kita katakan mana yang benar? Keduanya mengajarkan kebajikan dan membimbing kita ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan nafsu dan evakuasi semua mahluk hidup. Kita dihentikan mempersoalkan perbedaan ini. menciptakan keraguan yang malah akan menciptakan kebingungan.

Dari karya-karyanya sanggup dikatakan bahwa I-tsing tidaklah terlalu dalam bergelut dalam problem filosofi buddhis tetapi hanya tertarik pada kehidupan biarawan dan tugas-tugas yang diemban oleh mereka. Dengan kata lain, ia menawarkan seluruh waktunya untuk mencar ilmu vinnaya dan kehidupan biarawan.

Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih berkembang Hinayana. I-tsing menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada pula yang menganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah tiba biksu dari India Dharmapala, ke Melayu dan berbagi aliran Mahayana. Awal masa ke-20, dua prasasti ditemukan di bersahabat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibentuk tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra – yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu – memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani Buddha ; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.

Dari informasi I-tsing itu selanjutnya kita sanggup mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu Sriwijaya menjadi sentra agama Buddha. Disana terdapat sebuah sekolah tinggi tinggi Buddha yang tidak kalah dengan sekolah tinggi yang ada di Nalanda India. Ada lebih dari 1000 biksu yang aliran serta tata upacaranya sama dengan yang ada di India. Kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar disitu. Dari informasi ini terang bahwa Sriwijaya yakni sentra agama Buddha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan gres dan yang juga bahagia mengadakan pekerjaan ilmiah. Oleh sebab itu musafir China yang ingin mencar ilmu di India niscaya singgah di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga dilakukan oleh I-tsing sendiri.

Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan besar lengan berkuasa besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa hyang – barangkali perdana menteri – berusaha mencari berkat dan kekuatan mistik guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, biar segala mahluk sanggup menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, sanggup diambil kesimpulan bahwa upacara ini yakni upacara indonesia kuno yang sesuai dengan aliran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin imbas tantra, yang di India mempengaruhi agama Buddha semenjak pertengahan masa ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapat pesan yang tersirat tertinggi yakni wajrasarira, badan baja (intan) yang mengingatkan kepada aliran wajrayana. Ini menerangkan bahwa pada tahap permulaan masih ada kekerabatan yang erat antara Indonesia dan India. Hubungan ini agaknya makin usang makin mengurang.

Scud Story memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan dongeng dan dongeng, mencakup unsur Intrinsik Cerita Dongeng yaitu mencakup Tema Cerita Dongeng, Amanat/Pesan Moral Cerita Dongeng, Alur Cerita/Plot Cerita Dongeng, Perwatakan/Penokohan Cerita Dongeng, Latar/Setting Cerita Dongeng, serta Sudut pandang Cerita Dongeng. dan kadang disertai  unsur Ekstrinsik Cerita atau Dongeng.

Previous
Next Post »

Post a Comment