Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Sunday, March 17, 2019

Cerita Cinta - Sebening Embun

Sebening Embun
Embun. Aku memanggilnya embun. Titik – titik air yg jatuh dari langit di malam hari dan berada di atas dedaunan hijau yang membuatku tenang berada di taman ini, menyerupai tenang nya hatiku ketika berada disamping perempuan yang sangat saya kagumi, embun.

“ngapain membisu di situ, ayo sini rei…” teriakan embun yang memecahkan lamunanku. Aku kemudian menghampirinya, dan tersenyum elok dihadapan nya.

“gimana kabarmu embun?”

“seperti yang kau lihat, tak ada kemajuan. Obat hanyalah media yang bertujuan memperparah keadaanku. Dan lihat saja ketika ini, saya masih terbaring lemah dirumah sakit kan?”, Keluhnya.

“obat bukan memperparah keadaanmu, tapi mencegah rasa sakitnya. Embun,, kau harus optimis ya”.

“hei rei, saya selalu optimis. Kamu nya aja yang cengeng. Kalo jenguk saya niscaya kau mau nangis,, iya kan? Udahlah rei,,, saya udah terima semua yang di takdirkan Tuhan,, dan saatnya saya untuk menjalaninya, kau jgn khawatir, saya baik-baik aja kok”. Benar kata embun, saya selalu ingin menangis ketika melihat keadaannya. Lelaki setegar apapun, niscaya akan duka melihat keadaannya, termasuk aku.
***

Sudah 2 ahad tak kutemui senyum embun di sekolah. Sangat sepi yang saya rasakan. Orang yang saya cintai sedang bertaruh nyawa melawan kanker otak yang telah merusak sebagian hidupnya. Apa? Cinta? Apakah benar saya mencintainya??? Entahlah,, saya hanya mencicipi sakit di ketika melihat ia menyerupai ini. ya Tuhan, izinkan saya menggantikan posisinya. Aku tak ingin melihat perempuan yang saya sayangi terbaring lemah di sana. Tolong izinkan aku.

Seperti biasa, saya menyempatkan diri sesudah pulang sekolah untuk pergi menjenguk embun di rumah sakit.

“hai embun,, bagaimana kabarmu?”

“sudah merasa lebih baik di bandingkan hari kemarin. Gimana keadaan sekolah kita?”

“baik juga. Cuma… ada sedikit keganjalan.”

“keganjalan apa rei?”

“karena di sana tak kutemukan senyummu embun….”

“ada ada aja kau rei,,, hahaha. O iya, kata dokter, besok saya udah di izinin pulang lho. Aku bahagia banget. Kamu dapat kan jemput saya di sini”.

“apa? Serius?” tanyaku kaget dan bahagia juga.

“sejak kapan saya dapat bohong sama kamu. Aku serius reivan algibran. Hehehhe”.

“gak perlu sebut nama lengkapku embun azzula,, saya percaya kok”. Senang sekali dapat melihat senyum dan tawamu embun,,, bathinku.

***
Waktu terasa cepat berlalu, alasannya yaitu kini saya sudah berada sempurna di depan pintu kamar embun. Aku mengetuknya dan…” pagi embun,,”

“pagi juga reivan,, gimana, kau dah siapkan antar saya kemanapun saya mau…?”

“siap tuan putri,, saya selalu siap mengantarmu kemanapun engkau mau. Heheheh”

“ok,, kini saya pengen ke taman. Tempat kita pertama kali bertemu rei,, kau dapat antar saya ke sana kan?”.

“siip, berangkat”.

Taman ini menjadi kawasan favorit kami. Sedih, suka, murka akan kami lontarkan di kawasan ini. Tempat yang penuh dengan bunga-bunga yang kami tanam dari nol. Ya, taman ini karya kami. Taman yg terletak sempurna di belakang gedung sekolah. 1 petak tanah yg tak pernah tersentuh oleh tangan manusia, ntah apa alasan mereka. Tanah yg tandus, bunga yg layu telah kami sulap menjadi taman cinta yang begitu indah, yang di tumbuhi bunga2 kesukaan kami. Sejak embun di rawat di rumah sakit, saya tak pernah mengunjungi taman ini, walaupun bersahabat dengan sekolahku.

“rei, kenapa semua bunga di sini layu,, apakah tak pernah kau rawat?”. Tanyanya. Apa yang harus saya jawab,, saya tau, ia niscaya marah.

“mereka layu alasannya yaitu tak ada embun di sini”. jawabku seadanya.

“embun? Bukannya tiap pagi selalu ada embun yg membasahinya?”

“tak ada yg lebih berarti selain embun azzula bagi tumbuhan ini, termasuk aku”. Jelasku yg menciptakan ia termangu sesaat.

“maksud kamu?”, ia menatapku dalam.

“tak ada,, mereka cuma butuh embun azzula yg merawatnya, bukan embun biasa dan aku. Mereka kesepian, alasannya yaitu sudah 2 ahad tak melihat senyum dan tawamu embun”.

“ya, saya menyadarinya itu. Sahabat,,, maafin embun ya,,, maaf selama ini embun gak dapat merawat sahabat serutin kemarin. Itu alasannya yaitu kesehatan embun yg semakin berkurang. Dulu embun dapat berdiri sendiri, kini embun harus memakai tongkat, dingklik roda dan bahkan teman. Teman menyerupai rei, yg dapat memapah embun. Thanks y rei..”

“eh,, ii iya, iya embun, sama sama.”

Sudah seharian kami di sini,, tanpa di sadari embun terlelap di pangkuanku. Menetes airmataku ketika melihat semua perubahan fisik yg terjadi padanya. Wajahnya yg pucat, tubuhnya yg semakin kurus, dan rambutnya yg semakin menipis, menciptakan saya kasihan. Kenapa harus embun yg mengalaminya? Tapi saya juga salut, tak pernah ada airmata di wajahnya. Dia sangat menghargai cobaan yg diberikan Tuhan kepadanya, ia selalu tersenyum, walaupun bekerjsama saya tau, ada kesedihan dibalik senyum itu.

“rei…” desahnya

“ia embun. Kamu dah bangkit ya? Kita pulang kini yuk,,, “ ajakku ketika ia sadar dari mimpinya.

“aku mau di sini terus rei,, kau mau kan nemenin aku. Aku mau menunggu embun tiba membasahi tubuhku. Sudah usang sekali saya tak merasakannya”.

“tapi angin malam gak baik buat kesehatan kamu”.

“aku tau, tapi untuk terakhir kali nya rei,,, pliss…”.

“maksud kau apa? Aku gak mau dengar kalimat itu lagi”.

“gak ada maksud apa-apa,,, kita gak tau takdir kan. Dah ah,, kalo kau gak mau nemenin aku, gak apa-apa. Aku dapat sendiri”.

“gak mungkin saya gak nemenin kau embun,, percayalah… saya akan selalu ada untukmu”.

“ gitu dong,, itu gres sahabat aku.” Ucapnya sambil melihat bunga-bunga di sekelilingnya.

“embun…”

“ya,,,”

“kamu suka dengan embun?”

“sangat. Aku sangat menyukainya. Embun itu bening, sangat bening. Dan bening itu menyimpan sejuta kesucian. Aku ingin menyerupai embun, bening dan suci. Menurutmu bagaimana?”

“aku juga mengasihi embun. Mencintai embun semenjak mengenal embun”.

“rei, kau tau… saya ingin menyerupai embun. Embun yang dapat hadir dan memberi suasana beda di pagi hari. Embun yg selalu di sambut kedatangannya oleh tumbuhan”.

“kamu sudah menjadi embun yg kau inginkan.”

“maksudmu?”

“tak ada”.

Aku sengaja merahasiakan perasaanku terhadapnya. Karena saya tau, tak ada kata “ya” ketika saya menyatakan perasaanku nanti. ia tak mau pacaran, dan ia benci seorang kekasih, ntah apa alasannya.

Jam sudah mengatakan pukul 5 pagi. Embun pun terlelap kelelahan di sampingku.

“embun,,,, embun,,,,,, bangkit embun,, kini sudah pagi. Katanya mau melihat embun, ayo bangun” pujukku,, tapi tak kudengarkan sahutan darinya.

“ayolah embun, bangun. Jangan terlelap terlalu lama…” saya mulai resah, apa yg terjadi. Kurasakan cuek tubuhnya, tapi saya menepis fikiran negatif ku. Mungkin saja cuek ini berasal dari embun pagi.

“embun sayang,, ayo bangun. Jangan buat saya khawatir”. Lagi lagi tak kudengarkan sahutannya. Tubuhnya pucat, dingin, kaku,,. Aku mencoba membawanya kerumah sakit dengan usahaku sendiri. Dan,,, “ kami sudah melaksanakan semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Embun sudah menghadap sang pencipta” itulah kata-kata dokter yg menyidik embun yg menciptakan saya bagai tersambar petir. Aku lemah, jatuh, dan merasa bersalah. Kalau tak alasannya yaitu saya yang mengajaknya ke taman, mungkin tak kan menyerupai ini. Ya Tuhan, kenapa ini terjadi… saya tak sanggup.
***

Beberapa bulan kemudian….
Aku temui surat berwarna biru dan ada gambar embun di surat itu.

    Teruntuk reivan alghibran
    Embun…
    Titik titik air bening yg jatuh dari langit
    Dan membasahi kelopak bunga yg saya sukai.
    Aku ingin menyerupai embun, yg dapat hadir di hati orang
    Yg menyayanginya. Tapi saya tak menemui siapa orang itu???

    Rei … makasih ya, dalam waktu terakhirku, kau dapat menjadi embun di hatiku. Dan tak kan pernah saya lupakan itu. Rei,, maaf jika bekerjsama saya suka sama kamu. Aku sengaja tak mengungkapkannya, alasannya yaitu saya tau.. sahabat lebih berharga di banding kekasih.

    O ia rei,,, tolong rawat taman kita ya,, saya gak mau ia layu alasannya yaitu tak ada yg memperhatikannya lagi. Karena taman itu yaitu kawasan pertemuan kita pertama dan terakhir kalinya.
    sekali lagi,, makasih dah jadi embun selama saya hidup dan tolong,, jadiin saya embun di hatimu ….

    salam manis… embun azzula.


“Embun,,,kamu tau, pertama saya kenal kamu, kau telah menjadi embun dihidupku, yang menyejukkan hatiku. Dan kau yaitu butiran bening yang selalu buat saya tersenyum, menyerupai embun yang selalu buatmu tersenyum.

Taman ini, bukan saya yg akan merawatnya, tapi kita. Dan taman ini tak akan pernah mati, alasannya yaitu kau selalu ada di sini, di sini rumah mu.” Kalimat terakhirku ketika meletakkan setangkai bunga mawar yg saya ambil dari taman di atas pusaranya. Pusara yg terletak di tengah-tengah taman embun. Dan kunamai taman itu dengan nama EMBUN. embun.. yang tak kan pernah mati…

the end

Fb : Novie An-Nuril Khiyar
twitt : @noviepurple19

Demikian cerita cinta kali ini, biar dapat menjadi bacaan menarik...

artikel terkait :
cerita cinta - sesudah kepergianmu
cerita cinta - cinta selalu ada

Previous
Next Post »

Post a Comment