Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Saturday, September 8, 2012

Detik-Detik Menjelang Perang Bharata Yudha


Sinar keinginan perdamaian yang dibawa Khrisna dikala pergi ke Hastinapura padam sudah. Khrisna segera pulang dan menceritakan apa ya terjadi pada Kunti bahwa perang tak sanggup dielakan lagi. Kunti sangat sedih.

Kunti tak sanggup menyembunyikan perasaannya. Hatinya bertanya-tanya : “Bagaimana mungkin saya menyampaikan isi hatiku pada putra-putraku semoga perang tak terjadi? Apakah saya harus berkata ‘pikullah kehinaan ini. Kita tak usah meminta bab kerajaan semoga perang urung terjadi’. Tapi bagaimana dengan tradisi kesatria? Tetapi, sebaliknya apa gunanya saling bunuh dengan saudara sendiri. Kebanggaan macam apakah yang akan didapat dari membunuh saudara sendiri. Bagaimana saya harus menghadapi pilihan ini?” Hati Kunti terbelah kedalam dua pilihan. Disatu sisi kehancuran total, tapi di sisi lain, kehormatan ksatria.

Di pihak Kurawa, ada Bisma, Durna, dan Karna. “Bagaimana mungkin anak-anakku sanggup mengalahkan kombinasi 3 ksatria pilih tanding itu”. Untuk Bisma, Kunti yakin dia tak mungkin tega melukai apalagi hingga membunuh Pandawa Lima yaitu: Puntadewa/Yudhistira, Bima, Arjuna, dan sikembar Pinten/Nakula dan Sadewa. Begitu pun dengan Durna, dia tak akan mau membunuh mantan murid-murid kesayangannya. Tapi Karna. Karna ialah ksatria pilih tanding yang begitu terobsesi untuk membunuh Arjuna demi menyenangkan hati Duryudana. Dan ironisnya, Karna tak lain ialah anak kandungnya sendiri yang artinya abang tiri dari Arjuna sendiri.

Karena kekhawatirannya itulah kemudian Kunti memutuskan untuk menemui Karna di sungai Gangga kawasan di mana Karna biasa melaksanakan pemujaan pada Dewata, dengan satu tujuan membuktikan kepadanya wacana siapa Karna dan Arjuna sebenarnya. Begitu Karna mengetahui asal-usul dirinya, Kunti berharap Karna mau meninggalkan Duryudana dan berbalik membela Pandawa.

Setelah begitu usang menunggu Karna bersemedi, kesudahannya Karna selesai juga dari semedinya. Demi melihat Kunti yang tersengat matahari begitu usang alasannya menunggunya bersemedi, Karna segera membuka baju untuk melindungi kepala Kunti dari sengatan matahari.

Sesuai dengan budpekerti kebiasaan, Karna kemudian menghaturkan sembah, “Anak Rada dan sais kereta menghaturkan sembah hormat.”

Kemudian Kunti pun menjawab, “Karna, bahwasanya kamu bukan anak Rada dan sais kereta. Kau ialah anak Batara Surya yang lahir dari rahim Pritha yang kini dikenal sebagai Dewi Kunti. Semoga kesejahteraan ada padamu selalu.”

Setelah itu, Kunti membuktikan wacana asal-usul kelahiran Karna, dan memintanya untuk bergabung bersama Pandawa untuk menegakkan kebenaran dan menjanjikan sebuah tahta kerajaan sehabis perang usai nanti.

Setelah mengetahui siapa dirinya, Karna mulai bimbang antara meikuti kata-kata ibunya atau tetap membela Duryudana yang selama ini membesarkan namanya. Dan sehabis agak usang melamun kesudahannya Karna pun dengan keteguhan hatinya menjawab, “Ibu, yang engkau katakan berlawanan dengan dharma. Jika meninggalkan kewajibanku, saya akan menyakiti diriku lebih parah daripada apa yang bida dilakukan seorang musuh kepadaku di medan perang. Ibu telah merenggut semua hakku dengan membuangku, seorang bayi yang tak berdaya, ke sungai. Mengapa kini ibu bicara padaku wacana kewajiban seorang ksatria? Ibu tidak pernah membicarakan cinta ibu yang ialah hak setiap anak. Dan sekarang, alasannya mencemaskan bawah umur ibu yang lain, ibu menceritakan asal-usul kelahiranku. Jika saya bergabung dengan Pandawa, apakah dunia nanti tidak akan mengutukku sebagai seorang pengecut? Aku dihidupi asam garam putra-putra Destarata. Mereka percaya kepadaku sebagai sekutu setia. Aku berhutang akal kepada mereka. Mereka memberiku perhatian dan kebaikan hati. Setelah perang menjelang, engkau menghendakiku meninggalkan Kurawa dan bergabung dengan Pandawa. Ibu, mengapa kamu memintaku untuk menghianati asam garam yang telah kumakan? Bagaimana mungkin saya meninggalkan mereka? Adakah yang lebih hina daripada orang yang menghianati orang yang telah menolongnya? Ibu terkasih, saya harus membayar hutangku, jikalau perlu dengan nyawaku. Jika tidak, saya akan tidak lebih dari seorang pencuri yang makan curian selama bertahun-tahun ini. Mohon maafkan aku.”

Lanjutnya: “Namun demikian, saya tidak akan menolak sepenuhnya undangan ibuku. Soalnya ialah antara saya dan Arjuna. Dia atau saya yang harus mati di medan laga nanti. Aku tidak akan membunuh bawah umur ibu yang lain, apa pun yang mereka lakukan kepadaku. Ibu para ksatriabperkasa, engkau tidak akan kehilangan putra. Putramu akan tetap lima. Salah satu dari kami, saya atau Arjuna akan tetap hidup sehabis perang ini.”

Mendengar kata-kata putra sulungnya yang teguh dan sesuai norma-norma ksatria, hati Kunti semakin sedih. Pikirannya campur aduk tidak keruan. Ia tidak kuasa berkata-kata lagi. Segera dipeluinya Karna dan pergi tanpa bersuara.

Pikir Kunti: “Siapa yang sanggup menentang suratan takdir? Setidaknya ia berjanji tidak akan membunuh keempat anakku yang lain. Itu sudah cukup. Semoga Dewata memberkatinya.”

Dan Kunti pun kembali menuju kediamannya….

Previous
Next Post »

Post a Comment