Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Monday, September 3, 2012

Ngaben; Upacara Sarat Makna

Ngaben secara garang sanggup diartikan sebagai sebuah prosesi pembakaran mayat dalam masyarakat Hindu Bali. Secara etimologis, istilah ngaben ialah prosesi pembakaran mayat tidak selamanya sempurna lantaran adakalanya tradisi ngaben tak selalu melulu perihal prosesi membakar mayat. Dalam bahasa lain di Bali, ngaben juga sering disebut dengan kata palebon. Kata ini diyakini berasal dari kata lebu yang berarti tanah atau debu. Jadi, ngaben atau palebon ialah sebuah prosesi upacara bagi sang mayat untuk ditanahkan (menjadi tanah). Dalam hal men-tanah-kan ini masyarakat Hindu Bali mengenal dua cara yakni dengan menguburkannya dan atau membakarnya. Dengan kata lain prosesi pembakaran mayat ada dalam upacara ngaben, tapi ngaben tidak berarti selalu berupa upacara pembakaran mayat. Secara bahasa, kata ngaben berasal dari kata beya yang berarti biaya atau bekal. Kata beya ini sendiri kemudian dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.

Meskipun begitu, asal-usul dari kata Ngaben sendiri mempunyai varian lainnya. Menurut beberapa para ahli, bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat awalan “ng” dan akhiran “an” menjadi “ngapian” yang sehabis mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan lantaran terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” berdasarkan aturan perubahan suara “b-p-m-w” kemudian menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”. Dan lantaran yang ingin Budaya Nusantara bahas di sini ialah ngaben yang terdiri dari prosesi pembakaran mayat, maka kiranya istilah itu baik juga digunakan di sini.

Pertama-tama, dan ialah yang paling esensial dalam pembahasan ini ialah tempat dan alat untuk mengabukan mayat yang disebut dengan istilah pemasmian dan tunon. Pemasmian sendiri merupakan tempat atau wadah untuk memproses sang mayat menjadi abu, yang secara bahasa berasal dari kata basmi. Sedangkan tunon sendiri yang berasal dari kata tunu (bakar) merupakan areal dimana prosesi itu dilaksanakan. Kata lain dari tunon ini ialah setra atau sema. Setra berarti tegalan dan sema ialah sebutan lain dari Dewi Durga. Upacara pokok dan inti dalam ngaben itu sendiri disebut dengan istilah Tirta Pangentas yang bertujuan untuk menetapkan korelasi kecintaan sang roh (atma) dengan jasad wadagnya (jasmani) untuk kemudian mengantarkannya kembali ke alam pitra (alam keabadian).

Adapun, api yang digunakan dalam upacara ngaben ini terbagi menjadi dua jenis api, yakni, api sekala (kongkrit/nyata) dan api niskala (abstrak/tak nyata). Api sekala ialah api yang memang secara real digunakan untuk membakar tubuh sang mayat hingga menjadikannya abu. Sedangkan api niskala merupakan api tak kasat yang bertujuan untuk membakar kekotoran dan dosa-dosa yang melekati roh. Proses membakar kotoran dan dosa-dosa ini sendiri disebut dengan istilah mralina.

Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting ialah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa semoga turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melaksanakan “pralina”. Mungkin lantaran api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa kawasan pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Makara ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.

Lepas dari problem api mana yang lebih penting. Khusus perihal kehadiran api sekala ialah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk sanggup hingga di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya sehabis melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari “Ngaben”.

Jenis-jenis Ngaben yang Lazim pada Masyarakat Hindu Bali

Dalam masyarakat Hindu Bali, upacara ngaben terdiri dari beberapa jenis yang secara garis besar terbagi menjadi dua jenis ngaben yakni ngaben sederhana dan ngaben sarat (meriah). Untuk jenis-jenis ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sederhana antara lain: Mendhem Sawa, Ngaben Mitra Yajna, Pranawa, Pranawa Bhuanakosa, dan Swasta. Sedangkan untuk ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.


a.   Jenis-jenis yang termasuk dalam Ngaben Sederhana:

1. Mendhem Sawa
Mendhem Sawa secara harfiah berarti menguburkan mayat. Dan menyerupai yang sudah saya jelaskan di atas, yakni Upacara Ngaben yang tidak dengan membakar mayat atau disebut dengan “bila tanem atau mratiwi”. Di samping itu juga, dalam masyarakat Hindu Bali ada semacam konfensasi untuk menunda pembakaran sang mayat lantaran tersebab oleh hal-hal yang sanggup diterima menyerupai kurangnya biaya, sedang dalam keadaan darurat dan sebagainya. Atau mungkin juga dengan alasan-alasan filosofis menyerupai bahwa semoga ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara sanggup merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan semoga mereka sanggup mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).

2. Ngaben Mitra Yajna
Ngaben Mitra Yajna sesungguhnya bukanlah nama yang resmi digunakan, tapi lantaran jenis ngaben ini oleh Lontar Yama Purwana Tattwa, di mana jenis ngaben ini bersandar, tak disebutkan namanya maka untuk membedakan dengan ngaben-ngaben lainnya maka ngaben ini secara tak resmi disebut dengan Ngaben Mitra Yajna. Mitra Yajna sendiri merupakan asal dari kata Pitra dan Yajna yang artinya kobaran suci. Secara garis besar, Ngaben Mitra Yajna ini sanggup dijelaskan sebagai sebuah upacara pembakaran mayat menyerupai yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa. Ciri lain yang menonjol dari jenis ngaben ini ialah melaksanakan upacara ngaben selama tujuh hari dengan waktu pelaksanaan yang sembarang (tidak bersandar pada perhitungan hari baik).

3. Pranawa
Pranawa ialah huruf Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan menyerupai amranawa sawa yang gres meninggal. Ngasti hingga ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa gres meninggal, menyerupai yang telah diuraikan.

4. Pranawa Bhuanakosa
Jenis ngaben ini merupakan anutan Dewa Brahma kepada Rsi Brghu, yang pada pada dasarnya merupakan prosesi upacara pembakaran mayat bagi yang belum usang meninggal. Dalam Pranawa Bhuanakosa ini tidak ada ketentuan bahwa sang mayat sebelumnya telah dikuburkan atau tidak. Selama sang mayat belum terlalu usang meninggal maka jenis ngaben ini sanggup dilaksanakan.

5. Swasta
Ngaben Swasta dikhususkan bagi orang yang meninggal dan mayatnya tidak diketahui keberadaannya, tidak ditemukan (baik lantaran hilang atau lantaran terlalu usang dikuburkan), atau terlalu jauh (meninggal di tempat yang jauh). Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, sanggup dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang usang di pendhem yang tidak sanggup diketahui bekasnya pengulapan sanggup dilakukan di Jaba Pura Dalem.



b.   Jenis-jenis yang termasuk dalam Ngaben Sarat:

Jenis-jenis Ngaben Sarat terbagi atas dua jenis tergantung dari jenis mayat yang akan diaben yaitu apakah jenis Sawa Prateka atau Sawa Wedhana.

1. Sawa Prateka
Sawa Prateka ialah dikhususkan bagi mayat yang gres meninggal dan belum pernah diadakan upacara penguburan sama sekali. Prosesinya sendiri secara singkat sanggup dikronologiskan sebagai berikut: sehabis ruh meninggalkan badan, maka pertama-tama yang dilakukan oleh keluarga mendiang ialah mengadakan upacara bagi sang mendiang menyerupai memandikan jenazahnya, memercikinya dengan tirta pemanah, memberinya sesaji tertentu sebagai hidangan, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu.

2. Sawa Wedhana
Sawa Wedhana ialah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapat upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa yang telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa Rsi.

Previous
Next Post »

Post a Comment