Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Tuesday, September 4, 2012

Upacara Budbahasa Mintoni Di Jawa Tengah


Seperti yang kita mafhum bersama bahwa negeri kita Indonesia merupakan sebuah negeri kepulauan yang tiap pulau-pulau tersebut terdapat banyak sekali macam kebudayaan tradisional yang beraneka ragam. Di antara tradisi yang bermacam-macam itu Budaya Nusantara ingin membahas salah satu upacara moral yang terdapat di Jawa Tengah khususnya Surakarta yang disebut dengan Tingkepan atau Mintoni. Upacara moral Tingkepan atau Mintoni sendiri merupakan sebuah upacara moral yang dilaksanakan untuk memperingati kehamilan pertama saat kandungan sang ibu hamil tersebut memasuki bulan ke tiga, lima dan puncaknya ke tujuh bulan. Adapun maksud dan tujuan dari digelarnya upacara moral ini yaitu untuk mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandungnya, biar selalu sehat segar bugar dalam menanti kelahirannya yang akan datang.

Kronologi singkat dari upacara tingkepan ini sendiri yaitu menggelar selametan pada bulan ketiga, lima dan kemudian puncaknya yaitu pada bulan ke tujuh sang ibu hamil pun menggelar sebuah prosesi upacara berupa memandikan atau mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandung, biar kelak segar bugar dan selamat dalam menghadapi kelahirannya.

Pertama-tama sang calon ayah dan calon ibu yang akan melaksanakan upacara Tingkepan duduk untuk menemui tamu permintaan yang hadir untuk menyaksikan upacara Tingkepan ini di ruang tamu atau ruang lain yang cukup luas untuk menampung para permintaan yang hadir. Setelah semua permintaan hadir maka barulah kemudian sang calon ibu dan ayah inipun di bawa keluar untuk melaksanakan ritual pembuka dari program tingkepan itu sendiri yakni sungkeman. Sungkeman yaitu sebuah prosesi meminta maaf dan meminta restu dengan cara mencium tangan sambil berlutut. Kedua calon ayah dan calon ibu dengan diapit oleh kerabat erat diantarkan sungkem kepada eyang, bapak dan ibu dari pihak pria, kepada bapak dan ibu dari pihak puteri untuk memohon doa restu. Baru kemudian bersalaman dengan para tamu lainnya.

Setelah program sungkeman selesai barulah kemudian digelar upacara inti yakni memandikan si calon ibu sesudah sebelumnya peralatan upacara tersebut telah dipersiapkan. Alat-alat dan materi dalam upacara memandikan ini sendiri yaitu antara lain kolam mandi yang dihias dengan janur sedemikian rupa sampai kelihatan semarak, bantalan duduk yang terdiri dari klosobongko, daun lima macam antara lain, daun kluwih, daun alang-alang, daun opo-opo, daun dadapserat dan daun nanas. Jajan pasar yang terdiri dari pisang raja, masakan kecil, polo wijo dan polo kependem, tumpeng rombyong yang terdiri dari nasi putih dengan lauk pauknya dan sayuran mentah. Baki berisi busana untuk ganti, antara lain kain sidoluhur; materi kurasi; kain lurik yuyu sukandang dan morikputih satu potong; bunga telon yang terdiri dari mawar, melati dan kenanga; cengkir gading dan bendo serta beberapa kain dan handuk.

Setelah semua materi lengkap tersedia maka barulah kemudian si calon ibu pun di mandikan. Pertama-tama yang mendapat giliran memandikan biasanya yaitu nenek dari pihak pria, nenek dari pihak wanita, dan kemudian barulah secara bergiliran ibu dari pihak pria, ibu dari pihak wanita, para penisepuh yang seluruhnya berjumlah tujuh orang dan kesemuanya dilakukan oleh ibu-ibu. Disamping memandikan, para nenek dan ibu-ibu ini pun diharuskan untuk menunjukkan doa dan restunya biar kelak calon bayi yang akan dilahirkan dimudahkan keluarnya, mempunyai organ badan yang tepat (tidak cacat), dan sebagainya.

Sementara itu, saat calon ibu dimandikan maka yang dilakukan oleh calon ayah berbeda lagi yakni mempersiapkan diri untuk memecah cengkir (kelapa muda) dengan bendo yang telah diberi banyak sekali hiasan dari janur kelapa. Proses memecah cengkir ini sendiri hanya sekali ayun dan harus pribadi terbelah menjadi dua bagian. Maksud dari hanya sekali ayun dan harus pribadi terbelah ini sendiri yaitu biar kelak saat istrinya melahirkan sang anak tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Setelah semua upacara itu terlewati, langkah selanjutnya yaitu sang calon ayah dan calon ibu yang telah melaksanakan upacara tersebut pun diiring untuk kembali masuk kamar dan mengganti pakaian untuk kemudian bersiap melaksanakan upacara selanjutnya yakni memotong janur. Prosesi memotong janur ini sendiri yaitu pertama-tama janur yang telah diambil lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si calon ibu untuk kemudian dipotong oleh si calon ayah dengan menggunakan keris yang telah dimantrai. Proses memotong ini sama menyerupai halnya saat memecah cengkir, sang calon ayah harus memotong putus pada kesempatan pertama.

Setelah selesainya upacara memotong janur ini pun kemudian dilanjutkan dengan upacara berikutnya yakni upacara brojolon atau pelepasan. Upacara brojolan ini sendiri yaitu sebuah upacara yang dilakukan oleh calon ibu sebagai semacam simulasi kelahiran. Dalam upacara ini pada kain yang digunakan oleh calon ibu dimasukkan cengkir gading yang bergambar tokoh pewayangan yakni Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih. Tugas memasukkan cengkir dilakukan oleh ibu dari pihak perempuan dan ibu dari pihak laki-laki bertugas untuk menangkap cengkir tersebut di bawah (antara kaki calon ibu). Ketika cengkir itu berhasil ditangkap maka sang ibu itu pun harus berucap yang kalau dibahasa Indonesiakan berbunyi, “Pria ataupun perempuan tak masalah. Kalau pria, hendaknya tampan menyerupai Batara Kamajaya dan kalau putri haruslah anggun layaknya Batari Kamaratih.” Kemudian menyerupai halnya bayi sungguhan, cengkir yang tadi ditangkap oleh ibu dari pihak laki-laki ini pun di bawa ke kamar untuk ditidurkan di kasur.

Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh calon ibu ini pun harus menggunakan tujuh perangkat pakaian yang sebelumnya telah disiapkan. Kain-kain tersebut yaitu kain khusus dengan motif tertentu yaitu kain wahyutumurun, kain sidomulyo, kain sidoasih, kain sidoluhur, kain satriowibowo, kain sidodrajat, kain tumbarpecah dan kemben liwatan. Pertama, calon ibu mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya biar mendapat wahyu atau rido yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Kedua, calon ibu mengenakan kain sidomulyo, yang maksudnya biar kelak hidupnya mendapat kemuliaan. Ketiga, calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya biar kelak mendapat kasih sayang orang tua, maupun sanak saudara. Keempat, calon ibu mengenakan busana kain sidoluhur, maksud yang terkandung di dalamnya biar kelak sanggup menjadi orang yang berbudi luhur. Kelima, calon ibu mengenakan kain satriowibowo, maksudnya biar kelak sanggup menjadi pendekar yang berwibawa. Keenam, calon ibu mengenakan busana kain sidodrajat, terkandung maksud biar kelak bayi yang akan lahir memperoleh pangkat dan derajat yang baik. Ketujuh, calon ibu mengenakan busana kain tumbarpecah dan kemben liwatan yang dimaksudkan biar besok kalau melahirkan depat cepat dan gampang menyerupai pecahnya ketumbar, sedangkan kemben liwatan diartikan biar kelak sanggup menahan rasa sakit pada waktu melahirkan dan segala kerisauan sanggup dilalui dengan selamat. Sambil mengenakan kain-kain itu, ibu-ibu yang bertugas merakit busana bercekap-cakap dengan tamu-tamu lainnya perihal pantas dan tidaknya kain yang dikenakan oleh calon ibu. Kain-kain yang telah digunakan itu tentu saja awut-awutan dilantai dan alasannya yaitu proses pergantiannya hanya dipelorotkan saja maka kain-kain tersebutpun bertumpuk dengan posisi melingkar layaknya sarang ayam saat bertelur. Dengan tanpa dirapikan terlebih dahulu kain-kain tersebut kemudian dibawa ke kamar.

Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai epilog dari rangkaian prosesi upacara tersebut yaitu calon ayah dengan menggunakan busana kain sidomukti, beskap, sabuk bangkit tulap dan belankon warna bangkit tulip, dan calon ibu dengan mengenakan kain sidomukti kebaya hijau dan kemben banguntulap keluar menuju ruang tengah dimana para tamu berkumpul. Di sini sebagai program epilog sebelum makan bersama para tamu, terlebih dahulu dilakukan pembacaan doa dengan dipimpin oleh sesepuh untuk kemudian ayah dari pihak laki-laki pun memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon bapak dan calon ibu untuk dimakan bersama-sama. Tujuan dari makan timpeng bersama ini sendiri yaitu biar kelak anak yang akan lahir sanggup rukun pula menyerupai orang tuanya. Pada waktu makan ditambah lauk burung kepodang dan ikan lele yang sudah digoreng. Maksudnya biar kelak anak yang akan lahir berkulit kuning dan tampan menyerupai burung kepodang. Sedangkan ikan lele demaksudkan biar kelak kalau lahir putri kepala bab belakang rata, supaya kalau dipasang sanggul sanggup melekat dengan baik. Usai makan bersama, program dilanjutkan upacara penjualan rujak untuk para tamu sekaligus merupakan simpulan dari seluruh program tingkepan atau mitoni. Sambil bepamitan, para tamu pulang degan dibekali oleh-oleh, berupa nasi kuning yang ditempatkan di dalam takir pontang dan dialasi dengan layah. Layah yaitu piring yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan, takir pontang terbuat dari daun pisang dan janur kuning yang ditutup kertas dan diselipi jarum berwarna kuning keemasan.

Previous
Next Post »

Post a Comment