Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Thursday, September 6, 2012

Ilmu Seksual Dari Lontara Assikalaibineng Bugis


Jika Anda pernah mendengar Kamasutra yang memuat perihal banyak sekali posisi dalam berafiliasi badan, atau setidaknya kitab Centini dari keraton Jawa yang pada beberapa bagiannya memuat juga perihal tips dan watak dalam berafiliasi seks, maka manuskrip kuno atau yang lazim disebut dengan lontara dari Bugis yakni Assikalaibineng pun sanggup disebut juga sebagai manuskrip yang membahas hal yang sama dengan dua kitab kuno yang saya sebut di atas. Manuskrip kuno yang berisi perihal perpaduan seksualitas budaya bugis dengan watak Islam ini pada awalnya merupakan ilmu atau anutan yang terbilang belakang layar dan hanya diajarkan pada perkumpulan-perkumpulan tertentu menyerupai dalam perkumpulan tarekat dan sebagainya, sebelum kesannya pada tahun 2009 manuskrip ini diterbitkan sebagai sebuah buku yang sanggup anda perolah di toko buku terdekat. Penerbit buku ini yaitu Ininnawa dengan judul yang sama, Assikalaibineng.

Lantas, apa saja isi dan kandungan yang terdapat dalam manuskrip Assikalaibineng ini? Manuskrip ini terbagi dalam beberapa potongan yang pada tiap-tiap babnya mengupas antara lain perihal potensi ejakulasi dini, faktor kejiwaan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan kekerabatan seksual, dan tips and triks seputar seksualitas menyerupai waktu yang baik untuk berafiliasi intim, tips memanjakan pasangan selepas berafiliasi intim, cara gampang merawat dan mengencangkan organ tubuh dengan memanfaatkan air mani yang keluar selepas berafiliasi intim, pijat dan urut, mantra-mantra, dan sebagainya.

Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berafiliasi suami istri. Akar kata yang sama digunakan juga oleh para petani untuk mengistilahkan awal masa tanam padi di sawah. Kenapa? Karena, menyerupai juga dalam kitab suci Al-Qur’an yang pada salah satu ayatnya menyebutkan sebuah perumpamaan yang manis bahwa istri-istrimu yaitu sawah ladang bagimu, dan kitab ini pun lahir atas efek dari anutan Islam maka kiranya cukup terang klarifikasi di atas kenapa satu kata sanggup memuat dua arti yang secara harfiah begitu berbeda. Dan memang, menyerupai lazimnya zaman ketika kitab ini ditulis bahwa yang berperan penting dalam sebuah kekerabatan intim yaitu dari pihak laki-laki maka kitab ini pun baik dalam isi maupun penyajian lebih dihususkan sebagai pegangan bagi para suami dalam tugasnya di ranjang. Mungkin ini jugalah yang sekaligus menjadi klarifikasi mengapa anutan ini hanya terbatas diajarkan kepada calon mempelai laki-laki saja, beberapa hari menjelang janji nikah.

Ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini diawali dengan pengetahuan perihal mandi, berwudlu, shalat sunah dan tafakur bersama sebagai prasyarat nikah batin, sebelum kesannya menanjak ke tahapan lelaku badaniah, menyerupai bercumbu, penetrasi dan segala yang harus dilakukan setelah berafiliasi intim. Dan karena, meski Assikalaibineng merupakan kitab yang berisi perihal ilmu-ilmu seksologi, tapi pendekatan yang digunakan yaitu sisi tata kramanya, maka dalam aktifitas badaniyah ini disarankan untuk dilakukan dengan cahaya yang tidak benderang dan dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.

Seperti juga dalam Kamasutra, dalam Assikalaibineng ini pun mengenal istilah foreplay atau pemanasan sebelum penetrasi. Dalam Assikalaibineng untuk foreplay mengenal dua istilah yakni makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium). Dua kegiatan yang dilakukan oleh tangan dan verbal dalam foreplay ini yaitu dengan mengeksporasi zona-zona erotis yang terdapat dalam tubuh wanita, yakni pada 12 titik rangsangan yang diantaranya yaitu meraba lengan sebagai titik rabaan pertama sebelum kesannya meningkat pada titik rabaan berikutnya menyerupai pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) yaitu sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.

Setelah potongan tubuh tubuh, mulailah masuk di sekitar muka. Titik rawan istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening ia atas hidung), kemudian inge (bagian depan hidung). Di titik ini juga disebutkan, tahapan di potongan tubuh sebelum penetrasi pribadi yaitu pangolo (buah dada) dan posi (pusar). Dalam foreplay berupa makkarawa dan manyonyyo ini, buku menyarankan tetap damai dan mengatur irama naffaseng (nafas). Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh anutan fiqhi al’jima atau anutan berafiliasi seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala.

Untuk orang-orang zaman kini mungkin akan sedikit janggal dengan anutan berdzikir sambil bersenggama ini. Tapi bila membaca komentar dari penyusun buku ini bahwa adakalanya seorang suami ketika berafiliasi intim biasanya lebih berfokus untuk mencapai titik titik puncak dan kesannya memungkinkan untuk ejakulasi dini, maka anutan berdzikir (tentu saja dalam hati) ketika dalam bersenggama menjadi terasa masuk akal, alasannya setudaknya dengan tidak melulu berfokus pada keadaan mencapai titik puncak mengakibatkan sebuah kekerabatan tubuh lebih panjang dan dengan sendirinya kepuasan sang istri pun sanggup dicapai.

Lantas bagaimana cara untuk membangunkan seorang istri ketika sang suami sedang ingin menyalurkan libidonya sementara sang istri sudah pulas, mengingat adakalanya acara tidur antara suami dan istri terdapat perbedaan? Dalam kitab ini diajarkan bahwa bila suami sedang ingin berafiliasi maka sebaiknya suami memberi arahan dengan cara mengangkat tangan kirinya dan kemudian menghembuskan nafas dari hidung. Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih berpengaruh berhembus, maka menerangkan kejantanan yang bangkit. Namun bila hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih dulu (hal 141). “Dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan berpengaruh berkaitan pribadi dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria.” (Thamzil Thahir)

Seperti yang dikemukakan di atas bahwa, lelaku dzikir dan mengatur hembusan nafas ketika berafiliasi intim sangatlah penting, alasannya dusamping semoga tak terlalu fokus pada pencapaian orgasme diri sendiri, juga semoga gerakan dalam berafiliasi intim pun tidak menjadi sedemikian vulgar. Secara rinci dari proses pengaturan nafas dan dzikir ini sendiri dijelaskan dalam beberapa uraian yang begitu indah dan sangat amasuk akal, menyerupai contohnya dikala kalamung (zakar) bergerak masuk urapa’na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas. “Narekko mupattamamai kalammu, iso’i nappasse’mu”. Sebaliknya, bila menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase’mu), dan menyebutkan budduhung. Bahkan sanggup dibayangkan alasannya babang urapa’na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di potongan awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan hingga potongan kepala kalamummu kemudian menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh “timungeng bunga sibollo” (klitoris potongan kiri). Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati dikala bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan menciptakan daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)

“Mupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae / ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna. / Pada ppuncu’ni katauwwammu pada’e tosa mpuccunna bunga’e (sibolloe) / tapauttmani’ katawwammu angkanna se’kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau’., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu / subhanallah.. /”

Artinya, “Arahkan zakarmu, dan bacalah ini / Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna / kemudian cium dadanya,. kemudian naikkan panggulnya, ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali”. (hal 144).

Dan menyerupai yang tercantum di awal tulisan, kitab ini pun menerangkan perihal waktu yang baik untuk berafiliasi intim berikut manfaat-manfaatnya bila hal ini dikerjakan. Menurut kitab ini tak semua waktu anggun untuk berafiliasi intim. Ada waktu-waktu khusus yang harus diperhatikan bila ingin mempunyai anak yang diinginkan, dari mulai warna kulit anak, faktor kecerdasan anak yang kelak dilahirkan dan sebagainya tergantung dari pada jam atau waktu kapan Anda melaksanakan kekerabatan intim. Misalnya untuk mendapatkan anak dengan warna kulit tertentu, kitab ini menyebutkan bahwa bila ingin mempunyai anak berkulit putih maka persetubuhan harus dilakukan setelah Isya, untuk anak dengan warna kulit gelap, persetubuhan dilakukan pada tengah malam, dan untuk anak dengan warna kulit kemerah-merahan dilakukan persetubuhan antara waktu Isya dan atau pas tengah malam. Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh. Untuk zaman sekarang, mungkin hukum ini akan terdengar lucu di indera pendengaran kita, alasannya disamping belum sanggup dibuktikan secara ilmiah, aturan-aturan bersetubuh pada jam-jam tertentu ini mengakibatkan seks bukan lagi sebagai rekreasi yang sanggup dilakukan kapan pun kita membutuhkannya, tapi lebih kepada pro-kreasi atau kebutuhan membelah diri yang adakalanya mengesampingkan unsur dasar dari seks itu sendiri sebagai suatu acara badani.

Kemudian, pada potongan berikutnya kitab ini membahas perihal tips atau tepatnya treatmen bagi para suami untuk menjaga kebugaran dan kelangsingan tubuh pasangannya. Untuk melangsingkan dan menghaluskan kulit istrinya, kitab ini mengajarkan perihal pijitan setelah berhubungan, pun begitu untuk menghaluskan kulit istrinya, sang suami sanggup memanfaatkan ‘air mani’ sisa yang biasanya meleler di potongan luar babang urapa’ (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra bugis-Arab.

Untuk tahapan berikutnya, sehabis berhubungan, kita sanggup memanfaatkan air mani dari liang fajri yang telah bercampur dengan cairan perempuan. Kemudian letakkan di telapak tangan dan campurlah dengan sedikit air liur, dan sambil membaca dengan lafalan bugis, “waddu waddi, mani-manikang”. Air mani basuhan ini sanggup dipijitkan ke 12 titik zona erotis istri semoga tidak kendur dan tetap sensitif mendapatkan rangsangan, atau juga dengan cara memiji-mijitnya disekitar tulang kering di ujung bawah jari kelingking, semoga tubuh sang istri senantiasa lansing dan tentu saja singset.

Previous
Next Post »

Post a Comment