Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Thursday, September 6, 2012

Slamet Gundono, Sang Dalang Wayang Suket

Tak mirip wayang-wayang pada umumnya yang ada di Indonesia, wayang suket termasuk jenis wayang yang belum terlalu dikenal luas oleh masyarakat. Tapi, berkat kegigihan penggagas sekaligus dalang yang mempopulerkan jenis wayang ini yakni Slamet Gundono, wayang suket mulai menerima daerah di hati masyarakat. Disamping bentuk wayang yang tak mirip bentuk wayang pada umumnya, dan juga medium yang tidak mengecewakan antik yaitu dengan memakai materi rumput (suket dalam bahasa Jawa) untuk bentuk tiruan dari aneka macam figur wayang kulit, inspirasi kisah yang diangkat pun lebih segar dengan unsur kekinian, mirip contohnya wacana dunia politik yang sedang menghangat, cerita-cerita keseharian, dan sebagainya.

Oleh karenanya, tak mirip wayang lainnya, untuk pementasan wayang suket ini sendiri tak memerlukan daerah yang luas, pun dengan figur wayang yang tak terlalu banyak, dan juga nayaga untuk mengiringi pementasan dari wayang suket ini adakalanya sangat sedikit dengan tetabuhan yang apa adanya. Durasi pementasannya pun sangat fleksibel, pernah hanya 15 menit, pernah satu jam, pernah juga tiga jam. Meskipun begitu, jangan berpikir bahwa dengan segala keterbatasannya ini pementasan wayang suket ini menjadi sama sekali tidak menarik. Justru disinilah nikmatnya menyaksikan pementasan wayang suket dengan Slamet Gundono sebagai dalangnya. Segala keterbatasan itu menimbulkan antara sang dalang dengan penonton nyaris tak ada jarak, bebas berimajinasi, dan bahkan antar keduanya kadang sanggup saling berinteraksi satu sama lain.

Slamet Gundono, ya inilah nama yang tak akan pernah sanggup dipisahkan dengan pentas wayang suket, disamping lantaran konon ia ialah ayah sekaligus ibu yang melahirkan inspirasi wayang suket. Pria bertubuh tambun dengan bobot sekitar 350 kg, kelahiran Slawi, Tegal 19 Juni 1966 ini menemukan inspirasi pementasan wayang suket semenjak tahun 1997 lalu. Meski kedua orang tuanya ialah petani tulen, darah seni mengalir kental dalam nadinya. Pria berjulukan asli Gundono ini semenjak kecil memang begitu menggilai pertunjukan wayang kulit, meski ia sendiri mengaku tak suka dengan kehidupan sebagai pendalang lantaran mirip yang ia kerap saksikan bahwa profesi dalang begitu bersahabat dengan minuman keras dan perempuan. Mungkin itulah sebabnya, setamat SD ia lebih menentukan untuk melanjutkan sekolah ke tsanawiyah dan tinggal di pondok pesantren sebagai santri. Tapi, meskipun tinggal dalam suasana pesantren dan sibuk mengkaji aneka macam kitab, rasa cintanya terhadap wayang sama sekali tak sanggup dimatikan. Semakin ia mencoba melupakan wayang, kerinduannya pada dunia itu malah semakin membuncah.

Ia jadinya mengalah dan tetapkan untuk mengikuti panggilan jiwanya. Selepas tamat Aliyah, Slamet tetapkan untuk masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta dan mengambil Jurusan Seni Pedalangan. Setamat dari kuliah, kemudian Slamet Gundono pun mulai aktif dan dikenal sebagai dalang wayang kulit. Tapi, entah lantaran alasannya ialah apa, ketika profesi sebagai dalang wayang kulit mulai dikenal masyarakat dan usulan pementasan mulai ramai, tiba-tiba Slamet berbalik arah dan banting stir menjadi dalang wayang suket, satu jenis wayang yang pada masa itu biasanya hanyalah sekedar hiburan ringan dari sang kakek pada cucunya di pematang disela-sela menggarap ladang dan sawah.

Keputusannya untuk menggauli wayang suket ini pada awalnya memang banyak dicibir dan diolok-olok, baik oleh teman sesama seniman maupun masyarakat umum. Tapi, berkat kegigihannya untuk mempopulerkan wayang suket dan juga ide-ide asli yang ia pentaskan, wayang suket pun mulai banyak disukai masyarakat dan bahkan sekarang mulai sering berpentas sampai ke luar negeri. Slamet Gundono sendiri sesudah sekarang sadar bahwa wayang suket mulai diminati aneka macam kalangan, sedikit heran juga dengan pencapaian itu, lantaran pada mulanya ia sendiri mengaku pertama kali mementaskan wayang suket ialah lantaran keterpaksaan. Waktu itu ketika Slamet berada di Riau, ia diminta untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit. Tapi, sesudah mencari wayang kulit kesana-kemari tak juga ketemu, memori bawah sadarnya mulai berjalan. Ia teringat dengan kehidupan masa kecilnya yang kerap melihat kakeknya menganyam penggalan batang jenis rumput ibarat model wayang untuk mengisi waktu istirahatnya. Pada dikala itulah kemudian tercetus inspirasi untuk mementaskan wayang dengan medium suket atau rumput itu. pada waktu itu ialah tahun 1997, ketika Slamet untuk kali pertama mementaskan pertunjukan wayang suket ala kadarnya dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”. Itulah pertunjukkan wayang suket pertamanya. Bekal pengalaman pertama dari Riau itu ia bawa pulang ke tanah Jawa. Slamet Gundono mengumpulkan beberapa teman dan membentuk komunitas wayang suket yang kemudian ia pakai sebagai nama Padepokan Komunitas Wayang Suket, di Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah.

Pementasan wayang suket Slamet Gundono

Dari pengalaman beberapa tahun memopulerkan wayang suket, Slamet menandai orang-orang yang mengundang wayang suket tidak sekadar nanggap. Ia menangkap romantisme berpengaruh pada mereka, yakni romantisme masyarakat agraris. Itu ada di ruang bawah sadar orang-orang kota. Tak hanya orang-orang asal Jawa yang antusias. Penonton di Berlin, Jerman, pun memperlihatkan antusiasme serupa. Begitu terkesannya pada pertunjukan Slamet Gundono, beberapa penonton mengundangnya makan malam seusai pentas.

Selain lakon masternya, “Kelingan Lamun Kelangan”, ada lakon-lakon lain yang digarap Slamet Gundono, antara lain; “Sukesi atau Rahwana Lahir”, “Limbuk Ingin Merdeka”, dan “Bibir Merah Banowati” tergantung segmen dan impian pasar. Di tangan Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi tontonan yang enak, segar, dan penuh tuntunan. Ia berpijak pada seni tradisi dalam mengupas problem pada masa kekinian.

Previous
Next Post »

Post a Comment