Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Monday, December 10, 2012

Menelisik Makna Kitab Sasangka Djati Karya Pakdhe Narto

Sasangka Djati ialah sebuah buku bertahun 1932 karya R. Soenarto Mertowardojo yang bertalian dekat dengan pandangannya terhadap dunia materil. Dalam perilaku hidup ini pakhde Narto membagi pandangannya dalam 3 unsur, yaitu distansi, konsentrasi dan representasi.

a. Distansi
Menurut pakhde, pengertian distansi disini ialah insan mengambil jarak terhadap dunia sekitarnya, baik dalam aspek materil maupun spirituil. Meskipun begitu, distansi disini tidak dicari untuk distansi itu sendiri, melainkan sebagai jembatan penghubung bagi insan biar sanggup menemukan dirinya sendiri. Semacam tolak ukur kesadaran bagi manusia. Karena segala sesuatu dalam dunia (suka, duka, bahagia, sengsara) ini mengeruhkan kesadaran. Oleh alasannya ialah itu insan harus mengambil jarak terhadap dunia dan segala hal ihwalnya. Lebih mudahnya, jikalau insan ingin mempunyai arti dalam dunia, maka terlebih dahulu ia harus merenungkan ihwal dunia itu.

Distansi sendiri punya anak perilaku yang tak sanggup dipisahkan, yaitu; rila, narima dan sabar.

a.1. Rila

Sesungguhnya hal yg disebut ‘rila’ itu ialah keikhlasan hati dengan rasa senang dalam hal menyerahkan segala miliknya, hak-haknya dalam semua buah pekerjaannya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas, alasannya ialah mengingat semuanya itu ada didalam kekuasaan Tuhan. Maka dari itu harus tiada suatu pun yang membekas didalam hati..[1] 
Berulang kali saya menemukan kata ‘rila’ dalam fatwa ini. ‘rila’ yang bersinonim dengan kata ‘penyerahan’. Sebuah penyerahan yang tidak hanya berwujud dalam perbuatan-perbuatan yang insidentil dan spontan, melainkan harus merupakan perilaku hidup yang tetap. Rila selalu menuntut suatu tekad yang sanggup kita adakan alasannya ialah mengharapkan sesuatu yang lebih baik sebagai penggantinya. Tetapi ada faktor-faktor lain juga dalam hidup sehari-hari yang sanggup mendorong insan untuk sanggup bersikap ‘rila’ yang antara lain kekecewaan, perubahan, keterikatan dan banyak sekali penderitaan yang tiba silih berganti dan lain sebagainya..

a.2. Narima
Sikap ‘narima’ itu ialah sesuatu harta yang tak habis-habisnya, oleh alasannya ialah itu barang siapa yang berhasrat menerima kekayaan, carilah didalam sifat narima. Bahagialah orang yang mempunyai moral narima itu dalam hidupnya, alasannya ialah ia unggul terhadap keadaan tidak kekal..[2] 
Distansi juga nampak dalam pengertian narima. Artinya; merasa puas dengan takdirnya (bukan nasib), tidak berontak, mendapatkan dengan rasa terima kasih.

Jika perilaku ‘rila’ mengarahkan perhatian terhadap segala sesuatu yang telah kita capai dengan upaya sendiri, maka perilaku ‘narima’ lebih menekankan pada apa yang ada, faktualitas hidup kita, mendapatkan segala sesuatu yang masuk dalam hidup kita, baik sesuatu yang bersifat materil, maupun suatu kewajiban atau beban yang diletakkan diatas pundak kita oleh sesama manusia.

Narima tidak menyelamatkan seseorang dari mara bahaya, melainkan merupakan satu perisai terhadap penderitaan (penghayatan subyektif) yang diakibatkan oleh malapetaka. Yang menjadi pusat perhatian disini ialah ‘pikiran’ atau lebih tepat ‘rasa’ akhir malapetaka itu..

a.3. Sabar
Gegambaranipun tijang sabar punika kados dene seganten, ingkang boten bade ambaludag, senaosa toja saking pinten-pinten katahing lepen, manungsa iku sabisa-bisa kudu apengawak segara..[3] 
Kata ’sabar’ sering kita jumpai bantu-membantu dengan 2 istilah tadi, dan memang merupakan akibatnya. Hanya orang yang menjalankan rila dan narima akan menjadi sabar. Seorang yang dengan rela hati menyerahkan diri dan yang mendapatkan dengan senang hati sudah dianggap sabar dengan sendirinya. Ia akan maju dengan perilaku hati-hati, alasannya ialah sudah menjadi bijaksana berdasar pengalaman.

Kesabaran merupakan “broadmindedness”, kelapangan dada, yang sanggup merangkul segala pertentangan, betapapun besarnya perbedaan itu. Kesabaran laksana samudera yang tidak bertumpah, tetap sama, sekalipun banyak sungai yang bermuara padanya..

b. Konsentrasi 
Dalam kitab ini, konsentrasi pun di bagi menjadi 2 bagian, yaitu; ‘Tapa’ dan ‘Pamudaran’.

b.1. Tapa
Aja wareg, nanging aja luwe, aja kakehan melek, nanging iya aja kakehen turu; mangkono sapiturute, kaangkaha dewe kang sarwa sedeng, aja kongsi kaladuk utawa mung umbar-umbaran bae. Mungbae anggone ngurang-ngurangi kaangkaha saperlu, lan aja nganti diprusa kang ndadekake karusakaning raga, nanging dikuliknakna cecegah saka satitik manut kakuwatane..[4] 
Setiap konsentrasi sanggup dikacaukan oleh aktifitas nafsu. Nafsu tersebut dekat hubungannya dengan fungsi-fungsi jasmani. Kalo seseorang masih muda dan kuat, maka nafsu-nafsu masih bergelora di dalam badannya, terutama nafsu egosentris.

Maka dari itu diharapkan salah satu bentuk tapa. Lewat tapa kekuatan tubuh diperlemah, sampai perilaku dan perasaan terhadap sesama insan berubah. Orang menjadi sadar dengan relatifitas eksistensinya.

Dengan demikian, maka tapa, asal dipergunakan dengan seksama, sanggup mengembalikan seseorang pada pusat hidupnya.

b.2. Pamudaran
Hidup ialah sebuah lingkaran, “sangkan paraning manungsa”. Dalam hidup ini ada banyak gerak-gerik, tetapi sebenarnya tak terjadi sesuatu pun. Atau apa yang terjadi tidak melibatkan diriku. Berkat pamudaran saya lepas dari semuanya itu, ibarat orang mati di tengah-tengah hidup yang agresif ini, mati sajeroning urip.. 
Keadaan hidup yang tercapai oleh tapa yang intensif sanggup dilukiskan sebagai rasa kebebasan. Kebebasan batin inilah yang disebut pamudaran. Sebuah kebebasan yang membuat insan tak lagi merasa terikat dengan dunia materil. ‘pamudaran’ sendiri berasal dari kata ‘udar’ atau ‘wudar’, yaitu melepaskan pakaian atau menguraikan seutas tali. Pamudaran berarti, bahwa seseorang dalam batinnya telah terlepas dari dunia indrawi.

Ciri khas dari pamudaran ialah lenyapnya segala gagasan dan pengalaman. Orang yang bersangkutan menghayati kebersatuannya dengan Tuhan.. Manunggaling kawula gusti.

c. Representasi
Apa yang terkandung dalam pengertian ‘representasi’ ini? Representasi disini ialah bahwa setiap orang yang telah mengambil jarak terhadap materi (bukan meninggalkan materi) dan menemukan kekayaan batinnya, sedang dalam perjalanan menuju kebersatuan dengan Tuhan. Bahkan ia menjadi Tuhan. Sebetulnya ia telah mencapai keadaan mati, sekalipun ia masih hidup. Ia ‘mati sajeroning urip’. Ia lepas dari daya hisap materi.

Dan alasannya ialah berdasarkan lubuk hatinya ia (hampir) bersatu dengan Tuhan, maka mau tidak mau, dalam kehidupan sehari-hari pun ia juga memperlihatkan sifat-sifat Tuhan (ngiribi sifate Allah). Tuhan ialah ketentraman - ia juga menjadi ketentraman, Tuhan ialah terang - ia juga menjadi terang. Ia menjadi semacam duta besar dari sang maha penguasa tertinggi berjulukan Tuhan.

Dan dalam kekerabatan ini, representasi dipecah menjadi 2 anak tangga, yaitu; kuwajiban dan memayu ayuning bawana..

c.1. Kuwajiban
Keplasing turu dadi pasemoning tubuh wadag. Manawa wong pinudju turu, mangka bandjur ngimpi iku dadi pasemon, manawa roh durung iklas ninggal kahanan ing wektu rahina (awan), pasemon jen manungso ora iklas ninggal kadonjan. Wekasan ing tembe bakal katurunake maneh ing kahuripan kuwadagan.. 
Pakhde Narto percaya, bahwa didunia ini terdapat semacam keindahan. Tetapi keindahan tersebut kabur. Keindahan itu gres menjadi jernih dan sempurna, bila semua orang, masing-masing pada tempatnya sendiri, menjalankan kewajibannya.

Lalu apa saja kewajiban-kewajiban yang menurut kitab ini harus dikerjakan oleh manusia? Secara rinci sanggup dirumuskan sebagai berikut:

a) badan.
Yang dimaksud disini ialah tubuh manusia. Kita mempunyai kewajiban memelihara tubuh dan kesehatan jasmani. Badan sendiri tidak berharga, hanya semacam busana. Tetapi kita wajib memeliharanya, alasannya ialah ia berfungsi sebagai kereta bagi roh.

b) keturunan
Selain badannya sendiri harus dipelihara pula badan yang akan datang, yaitu keturunan. Maka dari itu orang harus mengusahakan keturunan yang baik, biar roh sanggup ditampung dalam suatu yang layak dan dengan demikian sanggup bekerja terus demi keselamatan dunia.

c) budidharma 
Budidharma ialah semacam kesediaan membantu sesama, dan merupakan suatu gladi resik sebelum orang sanggup bersatu dengan Tuhan.

d) pekerjaan 
Memang bagi pakhe Narto, pekerjaan merupakan kewajiban, tapi hanya sebatas itu, tidak lebih. Singkatnya, pekerjaan hanya dihargai sebagai sesuatu yang, walaupun tidak luhur, toh harus dijalankan.

e) penguasa 
Dalam pandangan kitab ini, memenuhi kewajiban terhadap penguasa dianggap sebagai satu sarana yang dapat membebaskan insan dari kesengsaraan hidup.

c.2. Memayu Ayuning Bawana
Manusia Menginjak dunia Melalui dunia Dan meninggalkan dunia 
Dengan terang sekali sajak ini menerangkan, apa yang dimaksudkan dengan Memayu Ayuning Bawana. Ungkapan ini tidak menyampaikan sesuatu pun yang baru, yang mengandung cita-cita bagi bawana. Sebenarnya satu-satunya yang dipentingkan ialah insan gres didunia ini, manusia yang diperbaharui dan memperbaharui. Bumi tetap sama, tak sanggup dirubah, tak sanggup diperbaharui, alasannya ialah dasarnya hanya materi.

Manusia sendiri laksana bulan purnama. Bulan yang menyinari, memperindah dan menerangi. Tapi meskipun begitu, jikalau ia tidak berbuat sesuatu pun, maka bumi akan tetap dingin.

KESIMPULAN
Jadi, kalo boleh saya simpulkan disini, dari ketiga unsur ini (distansi, konsentrasi dan representasi) ialah bahwa insan harus mengambil ‘distansi’ (jarak) terhadap dunia, “Jagad gedhe” kemudian diadakan ‘konsentrasi’ terhadap dirinya sendiri; inipun semacam distansi terhadap “Jagad cilik” (badan sendiri). Dan hasil dari dua perjuangan itu ialah ‘representasi’. Lepas dari ikatan dunia materil dengan batin yang dimurnikan, maka orang menjalankan sisa hidupnya sebagai seorang utusan Tuhan dalam dunia..

***

Previous
Next Post »

Post a Comment