Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Monday, December 10, 2012

Ruwatan; Upacara Pembebasan Malapetaka*

Oleh: Darmoko 


Salah satu upacara tradisi yang kini masih ditaati, dipatuhi, diyakini, dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa yaitu tata upacara ruwatan. Ruwatan berasal dari kata “ruwat” dan mendapatkan sufik -an. Kata “ruwat” mengalami tanda-tanda bahasa metatesis dari kata “luwar”, yang berarti terbebas atau terlepas. Maksud diselenggarakan upacara ruwatan ini yaitu semoga seseorang yang “diruwat” sanggup terbebas atau terlepas dari ancaman mara ancaman (mala petaka) yang melingkupinya. Seseorang yang oleh lantaran sesuatu lantaran ia dianggap terkena sukerta/ malu (klesa = Jawa Kuna), maka ia harus diruwat. Tradisi kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jawa, bahwa seseorang yang oleh lantaran suatu insiden terkena sukerta, ia akan menjadi mangsa Batara Kala. Untuk sanggup melepaskan/membebaskan seseorang dari ancaman Batara Kala, maka masyarakat Jawa yang meyakini menyelenggarakan upacara ruwatan, yang telah tertata dan diatur secara tertib. Usaha yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dengan mengadakan upacara ruwatan tersebut tak lain yaitu untuk melindungi insan dari segala ancaman bahaya. Koentjaraningrat memasukkan upacara ngruwat sebagai ilmu mistik protektif, yaitu upacara yang dilakukan dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi hama tumbuhan dan sebagainya, yang seringkali memakai mantra-mantra untuk menjauhkan penyakit dari tragedi (Koentjaraningrat 1984). Dengan demikian masyarakat yang melakukan upacara ruwatan percaya bahwa mereka akan terlindungi dari ancaman mara bahaya. Thomas Wiyasa Bratawijaya pernah menyebutkan seseorang yang seharusnya diruwat, seperti: kedana-kedini, ontang-anting, julung wangi, julung pujud, margana, gondang kasih, dampit, unting-unting, lumunting, pendawa, pendawi, uger-uger lawang, kembang sepasang, orang yang menjatuhkan dandang, mematahkan kerikil gilasan, menaruh beras di dalam lesung, memiliki kebiasaan aben rambut dan tulang, dan menciptakan pagar sebelum rumahnya jadi (Bratawijaya 1988).

Dalam upacara ruwatan sering dipergelarkan pertunjukan wayang. Wayang ialah bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan memakai boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan (Wibisono 1983). Dalam pertunjukan wayang ini disajikan lakon wayang secara khusus. Lakon wayang yang disajikan sebagai sarana upacara ruwatan ini biasanya Murwakala dan Sudamala. Baik lakon Murwakala dan Sudamala, keduanya termasuk wayang pada zaman purwa. Wayang zaman purwa terbagi atas 4 bagian, yaitu: mitos-mitos permulaan kosmos mengenai dewa, raksasa, dan manusia; Arjunasasrabau, yang memuat pendahuluan epos Ramayana; Ramayana; dan Mahabharata (Suseno 1985). Di dalam wayang dikandung hakekat kehidupan yang sangat mendasar. Aspek penting dalam kaitannya dengan hakekat wayang ialah masyarakat Jawa sering mengaitkan antara insiden yang terjadi di dalam dunia wayang dengan dunia nyata. Hakekat wayang yaitu bayangan dunia nyata, yang didalamnya terdapat makhluk ciptaan Ilahi, seperti: manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan bahkan dunia seisinya. Pembayangan itu berisi wacana citra kehidupan manusia, terutama mengenai sifat keutamaan/ kemuliaan dan keangkaraan/kejahatan. Peristiwa yang terjadi dalam dunia nyata, yang disebabkan oleh sesuatu hal sehingga seseorang terkena sukerta, akan menjadi mangsa Batara Kala.

Dalam wayang, visualisasi Batara Kala yaitu yang kuasa berwajah raksasa yang tinggi, besar, menyeramkan dan menakutkan. Kala berarti waktu, ini mengisyaratkan kepada seseorang, apabila ia tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, akan menjadi orang bodoh, lantaran tergilas oleh waktu yang dikuasai oleh Batara Kala, sebagai Dewa Waktu (Bratawijaya 1988). Anggapan-anggapan ini usang kelamaan menjadi keyakinan yang kokoh di dalam hati sanubari mayarakat Jawa. Agar terhindar dari ancaman Batara Kala, mereka mengadakan upacara ruwatan dengan sarana pertunjukan wayang dengan lakon khusus, yaitu Murwakala atau Sudamala.

Lakon Murwakala itu sendiri sangat terkenal dalam masyarakat Jawa, khususnya di kalangan para dalang. Secara etimologi, murwakala berasal dari kata “murwa” dan “kala”. “Murwa” bentukan dari kata “purwa” yang berarti awal, asal-muasal, permulaan atau sebab-musabab. Sedangkan “kala” berarti waktu. Murwakala berarti menelusuri permulaan kala. Kala yaitu tokoh dewa/ batara, suami Batari Durga. Lakon ini mengisahkan bagaimana awal, asal-muasal, sebab-musabab, atau permulaan tokoh Batara Kala. Murwakala yaitu lakon yang pada masa kini dikatakan paling mustajab untuk menolak ancaman magis. C.C. Berg menyampaikan bahwa lakon ini mengisahkan tokoh Batara Kala, seorang yang kuasa raksasa yang bermetamorfosis sebagai akhir hawa nafsu jahat dari Batara Guru kemudian mencari insan sebagai mangsanya, tetapi pada suatu pertunjukan wayang dibinasakan oleh dalang dengan jampi-jampi, dan lakon ini dianggap demikian besar kekuatan gaibnya, sehingga tidak dipertunjukkan tanpa mengambil aneka macam tindakan pemberian (Berg 1974).

Lakon Murwakala sanggup dipaparkan sebagai berikut (seperti yang dilaksanakan oleh dalang Hardaguna, di kediaman Mas Hatmakarjana, seorang kamituwa desa Maja, Pracimantara, Wonogiri, yang kemudian diceritakan kembali oleh Suparja: naskah koleksi FSUI/WY 92 - W 64.02). Upacara ruwatan itu dilaksanakan pada hari Akad (Minggu) Pon, jam 10 pagi, tanggal 6 Juli 1941 (Suparjo 1941). Batara Guru dan Narada turun ke dunia, memerintahkan dalang Sejati supaya menunjukkan pertolongan kepada seseorang di desa Maja yang menjadi mangsa Batara Kala. Pada suatu ketika Batara Guru naik sapi Andini, namun di tengah jalan ia menabrak Batara Kala, dan terbangun. Batara Kala menggugat Batara Guru lantaran selalu menghalang-halangi mangsanya. Batara Guru menunjukkan pesan yang tersirat kepada Batara Kala, bahwa ia sanggup ruwat dari segala mangsanya oleh seorang dalang yang mendalang siang hari.

Sementara Dewi Uma menggugat juga kepada dewata lantaran mangsa Batara Kala selalu dikurangi, pada ketika itulah Uma mendapatkan kutukan sehingga berubah wujud menjadi Durga. Dewata memerintahkan semoga Durga ke desa Maja, di situlah ia akan teruwat oleh dalang Sejati atau dalang Sampurna. Durga kemudian mengembara dan bertemu dengan Batara Kala. Batari Durga menunjukkan banyak bala tentara kepada Batara Kala yang terjadi dari air seni. Batari Durga kemudian mencari telaga pangruwatan dan Batara Kala melanjutkan perjalanan menuju desa Maja.

Seorang ksatria tampan, ontang-anting berjulukan Garuda Lare dikejar-kejar Batara Kala, kemudian ia bersembunyi di balik periuk besar (dandang) yang sedang digunakan merebus air. Periuk besar itu roboh sehingga air panasnya tumpah mengenai kaki Batara Kala, luluh. Butapa dan Butapi diperintahkan Batara Kala menarik hati ksatria tersebut, namun ksatria itu tetap bersembunyi di balik periuk besar yang pecah tadi. Batara Kala sesudah tidak menemukan ksatria itu, kemudian pergi. Batara Kala bertemu dengan Bapa Truna, seorang ontang-anting mencari telaga pangruwatan. Bapa Truna akan dimangsa Batara Kala; terjadilah perang, namun Batara Kala lari meninggalkan tempat. Batara Kala di tengah perjalanan bertemu dengan Garuda Lare dan ingin memangsanya. Garuda Lare lari dan Batara Kala terus mengejar. Garuda Lare bertemu dengan seorang perempuan sedang hamil di desa Sendang Kawit. Wanita itu duduk di tengah-tengah pintu. Garuda Lare kemudian menasihatinya, bahwa tidak pantas ia duduk di tengah-tengah pintu, lantaran ia akan menjadi mangsa Batara Kala.

Wanita itu pun menuruti pesan yang tersirat Garuda Lare. Batara Wisnu dan Dewi Sri mendapatkan kedatangan Batara Narada. Batara Narada memerintahkan mereka semoga turun ke dunia bertempat tinggal di Mendanggawa. Wisnu menjadi dalang berjulukan Sejati atau Sampurna. Dewi Sri sebagai penggender, dan Batara Narada sebagai nayaga berjulukan Cupak. Mereka berangkat menuju Sendanggawa. Hatmakarjana minta pertolongan kepada dalang semoga meruwatnya, lantaran gres saja terkena sukerta, yaitu kerobohan periuk besar, termasuk salah satu mangsa Batara Kala. Batara Kala dilempar gecko (daging mentah untuk sajen) oleh dalang. Dalang kemudian aben kemenyan. Dalang Sejati bertemu Batara Kala. Batara Kala bertanya: “Lakon apa itu?”. Dalang menjawab: “Lakon Kandhabuwana menceritakan jagad gede dan jagad cilik”. Dalang kemudian membaca ciri pada dada Batara Kala. Setelah ciri tersebut terbaca, Batara Kala ingin melihat cirinya itu. Dalang mulai membaca mantra panulak setan brekasakan berupa carakan balik, sebagai berikut:

Nga tha ba ga ma
Nya ya ja dha pa La wa sa ta da Ka ra ca na ha 



Dilanjutkan mantra setra bedhati:
Ya midusa sadumiya Ya miruda darimiya Ya siyasa sayasiya Ya liraya yaraliya Ya dayuda dayudaya Ya dayani niyadaya 

Disambung mantra sepigeni:
“ingsun ambukak sadulurku sepigeni kang asal saka geni nurka, dim, kang dadi wijining sakehing urip, ingsun tamakke apa kang katon luluh geseng dadi awu saking kodratullah” 

Dalang juga membaca mantra sepiangin:
“ingsun ambukak sadulurku sepiangin, kang asal saka angin ngabdul musamad, kang dadi wijining sakehing nyawa, ingsun sapokake mangetan terus sagara wetan, mangidul terus segara kidul, mangulon terus sagara kulon, mangalor terus sagara lor, saking kodratullah”. 

Dilanjutkan juga mantra sepibanyu:
“ingsun ambukak sadulurku sepibanyu, kang asal saka banyu tahura, kang dadi wijining sakehing roh, ingsun siramake ing banjar pakarangane si M. Hatmakarjana adhem asrep saking kodratullah”. 

Setelah itu dalang membaca mantra sepibumi:
“ingsun ambukak sadulurku sepibumi, kang asal saka bumi bahura, kang dadi wijining sakehing jisim, ingsun tamakake ing banjar pekarangane M. Hatmakarjana kuwat santosa slamet, saking kodratullah”. 

Dalang kemudian melanjutkan mantra kalacakra:
Kalamusa samulaka Kayaramu murayaka Kadibuda dabudika Kalibaya yabadika 

Mantra terakhir yang diucapkan yaitu pesinggahan:
“hong singgah-singgah kala singgah durga suminggah, kang cucuk wesi sirah, sing kama salah, sakehing kala padha suminggah, saya sajatining wasesa”. 

Sebagai mantra epilog dalang kemudian membaca lagi carakan balik. Setelah dalang selesai mengucapkan mantra-mantra, Batara Kala yang berada di balik layar hilang segala kekuatannya, kemudian ia ingin kembali ke tengah samodra, namun minta syarat. Dalang menunjukkan jawaban: “Semua sajen itu disediakan untukmu, carilah sendiri, apabila telah kau dapatkan janganlah merasa bangga dan pergilah kini juga, bawalah seluruh bala tentaramu, jangan ada yang ketinggalan”. Batara Kala kemudian pergi meninggalakan sang dalang. Durga mengalami kesengsaraan dan ia telah tiba di desa Maja bertemu dengan dalang Sejati. Durga minta diruwat dan dalang Sejati menyanggupinya. Akhirnya Durga teruwat, namun hanya “sifat halusnya” saja, sedangkan “sifat kasarnya” belum sanggup teruwat, lantaran ia masih berujud raseksi. Durga kemudian kembali ke Kahyangan, namun sesudah hingga di sana dipersilakan Batara Guru untuk mendiami Kahyangan Setragandamayu (Krendawahana) untuk memerintah jin, setan, brekasakan.

Batara Bayu menerima perintah Batara Guru semoga mengembalikan wujud (membadarkan) Dalang Sejati, penggender, dan nayaga. Batara Bayu berhasil mengubah wujud (merucat) ketiga tokoh tersebut sehingga pulih menjadi Batara Wisnu, Dewi Sri, dan Batara Narada. Mereka kembali ke Kahyangan. Upacara ruwatan yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa tidak terlepaskan dengan aspek mantra-mantra, yang kemudian dilakukan dan diucapkan oleh dalang pada waktu ia mengungkap ciri-ciri pada dada Batara Kala.

Mantra-mantra yang diucapkan oleh dalang pada waktu meruwat tersebut yaitu: carakan balik, setra bedhati, sepigeni, sepiangin, sepibanyu, sepibumi, kalacakra, dan pesinggahan. Demikian sebuah kata yang berasal dari lisan insan sanggup memperoleh kekuatan gaib, yang tampak makin kuat, bergantung pada sekticarakan balik, setra bedhati, dan kalacakra, sanggup dilihat adanya sesuatu yang terbalik. Sesuatu tersebut yang dimaksud yaitu susunan kata yang mengandung daya magi dan merupakan suatu keseimbangan, menyerupai halnya pada konsep klasifi katoris (kiri-kanan, atas-bawah, baik-buruk, dsb), yang selanjutnya sanggup dikaji bahwa contoh fatwa demikian yaitu suatu perjuangan insan untuk selalu menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dalam kehidupan insan di dalam masyarakat. Sedangkan mantra sepigeni, sepiangin, sepibanyu, dan sepibumi tersebut dimaksudkan bahwa pembaca mantra, yaitu dalang, berusaha memanggil dzat yang terdapat di alam, yaitu api, angin, air, dan tanah yang dianggapnya sebagai saudara, selanjutnya diperlukan sanggup menunjukkan kekuatan dan membantu segala perjuangan yang diidam-idamkan. Dengan demikian maka dalang tersebut berusaha pula untuk menyatukan dirinya dengan alam semesta. Pada mantra pesinggahan, dalang bermaksud untuk menghalau dan menempatkan segala durga (tindakan jahat), kama yang salah, dan si kala pada tempatnya, semoga tetap “singgah” di dalam alamnya, janganlah mengganggu kehidupan insan yang berada di alam nyata.

Sajen termasuk perlengkapan upacara ruwatan yang seharusnya ada. Sajen yaitu segala sesuatu berupa masakan yang secara khusus diperuntukkan bagi makhluk supranatural (gaib) yang sering disebut makhluk halus. Sajen merupakan srana, lantaran dipergunakan sebagai sarana mengadakan kekerabatan dengan alam di luar manusia. Oleh lantaran alam tersebut bersifat “halus”, maka sajen tersebut hanya disantap baunya saja. G.A.J. Hazeu menyampaikan bahwa berdasarkan kepercayaan orang yang menunjukkan sesajian tadi bukanlah wujud lahiriah masakan yang disajikan itu yang disantap oleh roh halus leluhur, melainkan hanya baunya belaka (Hazeu 1979).

Dalam upacara ruwatan terlihat terang adanya situasi dan kondisi sakral; menyerupai telah diuraikan di atas, yaitu pembacaan mantra-mantra oleh dalang, disertai sesajen dan pembakaran kemenyan, juga bunyi-bunyian gamelan, yang semuanya ini memungkinkan munculnya daya-daya magi tinggi. Pada dasarnya pelaksanaan upacara ruwatan ini yaitu suatu perjuangan untuk mengadakan kontak (hubungan) dengan dunia supranatural (gaib), sehingga para penghuninya, yaitu roh-roh halus sanggup dipanggil untuk keperluan dan tujuan tertentu. Untuk sanggup menambah sarana kesakralan pada upacara ruwatan tersebut, maka masyarakat Jawa yang meyakininya mengadakan pertunjukan wayang purwa, yang diperkirakan timbul pada zaman neolitikum dari praktek-praktek pemujaan roh nenek moyang (Ulbrich 1970). Wayang yaitu sarana ideal untuk mengadakan upacara ruwatan ini, lantaran dengan wayang, maksudnya yaitu wayang di zaman paling kuna (wayang purwa), sanggup menyingkirkan mara bahaya, menyerupai yang dikemukakan oleh G.A.J. Hazeu bahwa dengan wayang dimaksudkan sanggup menolak bala atau sesuatu yang buruk, contohnya menolak mala musibah yang akan tiba, atau kesengsaraan yang diderita oleh seseorang lantaran perbuatan-perbuatan yang tersimpul dalam tamsil, menyerupai orang yang memecahkan gandhik, orang merobohkan dandang penanak nasi (Hazeu 1979).

Dalam upacara ruwatan, kecuali unsur sesajen, dalang pun juga sangat menentukan, dalam arti dialah sebetulnya yang berfungsi sebagai penghubung antara dunia kasatmata (provan) dengan dunia mistik (supranatural). Pada kelanjutannya masyarakat memiliki keyakinan bahwa yang ada di dunia kasatmata mendapatkan efek dari dunia gaib, demikian pula mengenai alam semesta (jagad raya), merupakan susunan yang teratur rapi dan bergerak sesuai dengan rotasi dan revolusinya. Apabila salah satu unsur jagad raya menyimpang dari ketentuan tersebut, maka jagad raya akan mengalami kegoncangan, oleh lantaran itu unsur yang satu dengan yang lainnya di dalam jagad raya merupakan sistem yang tertata rapi, serasi, dan harmonis.

Pandangan yang menganggap bahwa alam semesta yang terdiri dari jagad gede dan jagad cilik yaitu satu kesatuan yang serasi dan harmonis, tidak lepas satu dengan yang lainnya dan selalu berhubungan, merupakan konsep kosmis. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa insiden yang terjadi di jagad cilik, lantaran menerima efek dari jagad gede, atau sebaliknya yang mengakibatkan kegoncangan. Konsep ini disebut magis. Dalam masyarakat Jawa terlihat dengan terang pula mengenai tatanan kehidupan yang teratur rapi, kejelasan mengenai fungsi dan kedudukan insan dalam hubungannya dengan insan lain, alam semesta, dan Tuhan. Semuanya ini berkaitan pula dengan pandangan bahwa alam semesta pada prinsipnya tertata rapi, serasi, dan harmonis, seiring dan selaras dengan kehidupan insan dalam masyarakat.

Konsep yang ketiga ini disebut klasifi katoris. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling berpautan. Keteraturan manusiawi dan kosmos yaitu terkoordinasi, hal ini potongan dari suatu keseluruhan dan bila bagian-bagian itu berusaha keras ke arah kesatuan dan keseimbangan, hidup akan menjadi nikmat dan tentram (Mulder 1984).

Previous
Next Post »

Post a Comment