Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Friday, June 7, 2013

Suluk Wujil Karya Penting Sunan Bonang

Pada kesempatan kali ini saya akan coba membahas Suluk Wujil karya Sunan Bonang dari segi puitika dengan konteks sejarah jawa Timuran dan perkembangan awal sastra pesisir di era ke 15 dan 16 M. Teks orisinil Suluk Wujil sendiri sanggup di jumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya “De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938).

Karena Suluk Wujil ini merupakan buah karya yang ditulis pada masa peralihan Hindu - Islam, maka Suluk ini pun mencerminkan hal-hal penggambaran kehidupan budaya, intelektual dan keagamaan di Jawa Timur yang sedang berada pada masa transisi religiusitas dari kepercayaan Hindu beralih menuju kepercayaan Islam. Peralihan itu sendiri ditandai dengan runtuhnya satu kerajaan Hindu terbesar terakhir di Pulau Jawa yakni Kerajaan Majapahit dan mulai besarnya kerajaan Demak Bintoro selaku kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa. Demak sendiri bahwasanya mempunyai keterkaitan pribadi dengan Majapahit lantaran sang pendiri Kerajaan Demak yakni Raden Patah merupakan putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V dari hasil perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit ini secara pribadi kuat pada tata nilai kehidupan masyarakat sekaligus menandai perpindahan acara kebudayan dari sebuah kerajaan Hindu beralih ke kerajaan Islam.

Di ranah sastra sendiri peralihan itu tercermin dari terhentinya acara menulis sastra Jawa Kuna sepeninggal penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, yang meninggal dunia pada pertengahan era ke-15 tanpa penerus yang kuat. Dengan begitu sentra pendidikan pun lambat laun beralih ke pusat-pusat gres di kawasan pesisir yang bersahabat dengan Kerajaan Demak. Dari segi bahasa Suluk Wujil ini mengatakan gaya bahasa yang tidak biasa dan terkesan gila lantaran memakai bahasa Jawa Madya yang memang pada dikala itu tidak lazim dipakai dalam penulisan tembang. Tidak hanya itu, dari segi puitika pun, Sunan Bonang memakai gaya tembang Aswalalita dan Dandanggula yang menyimpang dari patron penyair-penyair kebanyakan di zaman Hindu. Oleh karenanya, hanya dari kedua ciri dan gaya tersebut saja kita pribadi bisa mencicipi semangat peralihan yang begitu kentara dalam Suluk Wujil ini. Tapi meskipun begitu, pilihan Sunan Bonang yang tetap mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta dan juga banyak memakai tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu menyerupai contohnya tamsil wayang, dalang dan lakon dongeng pewayangan menyerupai Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa, mengakibatkan karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan. Ciri lain yang menciptakan Suluk Wujil karya Sunan Bonang ini menjadi karya penting lantaran isi dari tembang ini memang menitik beratkan pada perkara hakiki seputar wujud dan rahasia-rahasia terdalam dari anutan agama Islam dan dipadu dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menarik hati sepanjang zaman yang memang begitu digandrungi oleh orang-orang berilmu pada masa itu.

Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa, kedudukan Suluk Wujil dan suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya perihal tasawuf, Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana’ atau persatuan gaib dalam tasawuf tidak mengisyaratkan kesamaan insan dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah. Untuk lebih jelasnya saya kutipkan beberapa bait dari Suluk ini berikut terjemahannya oleh Abdul Hadi W.M :

1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba

2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada

3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan

4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning abjad tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada

5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora

Artinya, lebih kurang:

1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk anutan agama
Sampai diam-diam terdalam

2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum menerima anutan utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf

3
“Dengan lapang dada saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi materi tertawaan orang

4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja perihal bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar

5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari diam-diam Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

Pertanyaan Wujil pada gurunya ini merupakan pertanyaan yang universal tapi sekaligus esensial. Universal lantaran memang semua orang ingin mengetahui jawaban-jawaban dari problem tersebut dan menjadi sangat esensial lantaran pad kenyatannya pertanyaan itu menukik pada masalah-masalah yang begitu inti dan tak jarang jawabannya belum bisa disediakan oleh ilmu lahir pada masa itu bahkan mungkin hingga masa kini menyerupai hakikat hidup dan kehidupan yang kemuian menyeret pada Persoalan perihal diam-diam Yang Satu akan membawa orang pada problem perihal Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain. Tuhan. Tapi tak jarang juga, persoalan-persoalan yang diajukan oleh Wujil pada sang guru ini kemudian melahirkan ilmu tersendiri (ilmu praktis) menyerupai ketika si Wujil mempertanyakan perihal bagaimana terbenamnya matahari dan bulan, simpulan utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan tanda-tanda kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu simpel dan teoritis menyerupai fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi.

Dan tampaknya, pertanyaan-pertanyaan kritis macam inilah yang dinantikan oleh Sunan Bonang, alasannya yaitu hanya melalui pertanyaan menyerupai itulah Sunan Bonang sanggup menjabarkan sekaligus menyingkap tabir tasawuf kepada Wujil. Lihatlah tanggapan Sunan Bonang atas pertanyaan Wujil tadi:

6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol berita tuku berita ning tulis
Angur aja wahdat

7
Kang adol berita tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta

8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman

9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
… 

11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama

Artinya lebih kurang:

6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut saya disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu saya menjalankan tirakat

7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, akal-akalan suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning

8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk pecahan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul kerikil karang
Dan menakutkan

9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kamu harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”

11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal seruan semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”

Dalam bait-bait di atas sanggup kita lihat bahwa pada awal suluk ini Sunan Bonang ingin menegaskan bahwa Manusia dan Tuhan itu yaitu dua entitas yang berbeda satu sama lain tapi lantaran insan merupakan cerminan dari Tuhan-Nya maka dengan pengetahuan diri insan pun sanggup mendekat dan lebih mengenal Tuhannya. Manusia menjadi gambaran Tuhannya. Pencitraan Tuhan dalam insan ini terangkum dalam pertanyan: “Siapa sesungguhnya insan itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi sesudah mati?

Demikianlah, dengan banyak sekali symbol dan tamsil baik lokal maupun universal Sunan Bonang pada karyanya ini ingin mengajak penikmat karyanya untuk melalui tahap-tahap perjalanan jiwa insan dalam upaya mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada karenanya mencapai makrifat, yaitu mengenal Tuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya.

Previous
Next Post »

Post a Comment