Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Tuesday, June 18, 2013

Tradisi Kawin Culik Suku Sasak

Upacara pernikahan merupakan satu siklus hidup yang kaya akan makna dan biasa dirayakan oleh hampir seluruh umat manusia, tak terkecuali juga di wilayah-wilayah Nusantara. Pun begitu dengan proses-proses menjelang berlangsungnya upacara ijab kabul itu sendiri. Adakalanya, untuk beberapa kebudayaan, terutama di wilayah Nusantara, proses menuju terlaksananya sebuah perkawinan tidaklah sedatar yang dibayangkan, melainkan harus melewati beberapa tahapan yang begitu rumit namun sarat akan makna filosofis menurut kearifan lokal dari tempat masing-masing.

Salah satu budbahasa menjelang berlangsungnya prosesi pernikahan yang sangat unik dan sarat akan makna yakni budbahasa yang terdapat dalam budaya suku Sasak. Dalam budaya suku sasak, pernikahan dilaksanakan dengan cara menculik si calon istri oleh calon suami yang disebut dengan istilah kawin culik. Tapi tentu, penculikan calon istri oleh calon suami ini dilakukan menurut hukum main yang yang telah disepakati bersama melalui forum adat. Mungkin inilah satu-satunya penculikan di dunia yang dilegalkan dan harus patuh pada hukum main.     

Kawin culik ini akan berlangsung sesudah si gadis menentukan satu di antara kekasih-kekasihnya. Mereka akan menciptakan suatu kesepakatan kapan penculikan sanggup dilakukan. Perjanjian atau kesepakatan antara seorang gadis sebagai calon istri oleh penculiknya ini harus benar-benar dirahasiakan, untuk menjaga kemungkinan gagal ditengah jalannya agresi penculikan tersebab oleh hal-hal menyerupai dijegal oleh pria lain yang juga mempunyai hasrat untuk menyunting sang gadis. Hal ini dilakukan contohnya dengan jalan merampas anak gadis ketika ia bersama san calon suaminya dalam perjalanan menuju rumah calon suaminya. Ini pula sebabnya, penculikan pada siang hari tidak boleh keras oleh budbahasa lantaran dikhawatirkan penculikan pada siang hari akan gampang diketahui oleh orang banyak termasuk juga rival-rival dari sang penculik yang juga menghasratkan sang gadis untuk menjadi istrinya. Disamping merupakan belakang layar untuk para kekasih sang dara, penculikan ini pun harus dirahasiakan dan jangan hingga bocor ke indera pendengaran orang renta sang gadis. Kalau saja kemudian sesudah mengetahui orang tuanya tidak setujui anaknya untuk menikah, di sini orang renta gres boleh bertindak untuk menjodohkan anak gadisnya dengan pilihan mereka. Keadaan ini yang disebut Pedait.

Meskipun pada kenyatannya orang renta boleh untuk tidak bersetuju dengan  calon menantunya (yang dalam hal ini lelaki yang menculik anak gadisnya) tapi, untuk basa-basi sekaligus menghormati perasaan orang renta sang lelaki, perasaan tersebut sama sekali tak boleh ditunjukan pada ketika program midang. Maka dari itu, demi menghindari penculikan oleh lelaki yang bukan merupakan calon menantu yang dikehendaki, begitu mendengar selentingan kabar akan adanya penculikan, maka biasanya sang gadis dilarikan ke tempat famili calon suami yang jauh dari desa atau dasan si gadis atau dasan si calon suaminya.

Dan lantaran penculikan anak gadis oleh lelaki yang akan menyuntingnya yakni satu-satunya perbuatan penculikan yang diperbolehkan adat, maka tentu perbuatan ini pun mempunyai hukum permainan yang telah di atur oleh adat. Keributan yang terjadi lantaran penculikan sang gadis di luar ketentuan adat, kepada penculiknya dikenakan sangsi sebagai berikut :

Denda Pati 
Denda Pati yakni denda budbahasa yang harus ditanggung oleh sang penculik atau keluarga sang penculik apabila penculikan tersebut berhasil tapi menjadikan keributan dalam prosesnya.

Ngurayang
Ngurayang yakni denda budbahasa yang dikenakan pada penculik gadis yang menjadikan keributan lantaran penculikn tidak dengan persetujuan sang gadis. Karena sang gadis tidak oke dan sang penculik memaksa maka biasanya penculikan ini gagal.

Ngeberayang
Ngeberayang yakni denda budbahasa yang harus dibayar oleh sang penculik atau keluarganya dikarenakan proses penculikan terjadi kegagalan dan terjadi keributan lantaran beberapa hal menyerupai penculikan digagalkan oleh rival sang penculik, dan sebagainya.

Ngabesaken
Ngabesaken yakni denda budbahasa yang dikenakan kepada penculik lantaran penculikan dilakukan pada siang hari yang pada kesudahannya terjadi keributan.

Denda budbahasa yang harus dibayar tersebut apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran menyerupai yang telah dikemukakan di atas yakni dalam bentuk uang dengan nominal tertentu dan telah diatur oleh adat. Selanjutnya uang denda yang dibayar oleh penculik yang gagal itu akan diserahkan kepada kampung melalui ketua kerame yang kemudian diteruskan kepada kepala kampung untuk kesejahteraan kampung.   

Bilamana seorang gadis berhasil diculik, maka pada malam itu juga dilanjutkan dengan program mangan merangkat, yaitu suatu upacara budbahasa yang menyambut kedatangan si gadis di rumah calon suaminya. Hal ini merupakan upacara pelantikan masuknya di gadis dalam keluarga calon suaminya. Dalam mangan merangkat ini yakni semacam penyambutan dan perkenalan untuk sang gadis terhadap keluarga calon suaminya. Acara mangan merangkat ini iawali dengan totok telok yaitu calon mempelai memecahkan telur tolong-menolong pada perangkat (sesajen) yang telah disediakan. Totok telok yakni lambang kesanggupan calon mempelai untuk hidup dengan istrinya dalam perahu rumah tangga.

Baru kemudian pada pagi harinya, keluarga calon suami sang gadis (dalam hal ini yang telah menculiknya) akan mendatangi rumah orang renta sang gadis untuk memberitahukan bahwa anak gadisnya dipersunting oleh anaknya. Peristiwa datangnya keluarga sang lelaki ini disebut dengan Masejatik atau Nyelabar. Tujuan utama dari Masejatik yakni media negosiasi guna membicarakan kelajutan upacara-upacara budbahasa perkawinan serta segala sesuatu yang diharapkan dalam perkawinan. Dalam hal ini yang pertama-tama harus diselesaikan yakni program kesepakatan nikah. Pada waktu ijab kabul tersebut orang renta si gadis memperlihatkan kesaksian di hadapan penghulu desa dan pemuka-pemuka masyarakat serta para tokoh budbahasa lainnya. Dalam program ini bilamana orang renta si gadis berhalangan, ia sanggup menunjuk seseorang untuk mewakilinya.

Dan program ini berpuncak pada budbahasa perkawinan yang disebut dengan sorong doe, yakni ketika di mana rumah kediaman orang renta si gadis akan kedatangan rombongan dari keluarga mempelai lelaki. Kedatangan rombongan sorong doe ini disebut nyongkol. Acara inti dari sorong doe yakni wacana pengajuan dana yang diminta oleh orang renta sang gadis untuk menyambut para penyongkol yang disebut dengan kepeng tagih (uang tagihan). Uang tagih lainnya juga berupa kepeng pelengkak yaitu uang tagih dari abang pria mempelai perempuan yang belum menikah, sedangkan jika ada uang abang permpuan perempuan mempelai perempuan yang belum menikah tidak ada uang tagihannya.

Previous
Next Post »

Post a Comment