Kesenian Gaok yakni homogen kesenian membacakan kidung-kidung dari kitab-kitab kuno yang biasanya menceritakan kisah atau babad dengan selipan petatah petitih jaman dulu. Kesenian Gaok ini dibacakan atau dilantunkan tidak dengan memakai alat musik. Kalaupun ada alat musik yang dimainkan biasanya hanya pada awal pembukaan ketika Gaok akan dimulai atau pada dikala jeda sebelum sang pelantun gaok membacakan teks berikutnya. Jadi, bila dicari persamaan dengan kesenian kontemporer, kesenian gaok ini menyerupai dengan kesenian monolog.
Kata Gaok sendiri merupakan asal kata dari “gogorowok” dalam bahasa Sunda yang berarti berteriak, sebab kesenian ini memang dibawakan dengan cara dinyanyikan memakai intonasi bunyi yang nyaris menyerupai berteriak. Di beberapa kampung di Majalengka, nama Gaok kadang juga disebut dengan istilah “wawacan” dari kata wawar ka nu acan (memberi tahu kepada yang belum mengetahui) dan biasanya dilakukan pada dikala ritual adat ‘ngayun’ (acara seminggu kelahiran bayi).
Kesenian Gaok sendiri di Majalengka konon berkembang semenjak jaman pemerintahan Pangeran Muhammad, yakni sekitar masa ke-15. Pada awal kemunculannya, kesenian Gaok ini merupakan sarana atau media dakwah agama Islam dimana pada dikala itu belum banyak masyarakat Majalengka yang mengenal budaya baca. Dan sebab menjadi sarana dakwah, maka kesenian Gaok inipun mengalami sinkretisme antara budaya Sunda dengan budaya Islam yang pada dikala itu tiba dari wilayah Cirebon dengan kerajaan Islam-nya.
Salah satu tokoh yang berperan dalam menyebarkan kesenian Gaok di Majalengka diantaranya yakni Sabda Wangsaharja asal Desa Kulur pada kisaran tahun 1920-an. Bahkan, pada dikala ini di Desa Kulur beberapa anak mudanya menyebarkan kesenian Gaok dan menggabungkannya dengan seni monolog yang notabene merupakan kesenian kontemporer. Hasil penggabungan dua kesenian inilah yang kemudian dikenal dengan kesenian Monolog Gaok.
Berbeda dengan Gaok tradisonal, untuk Monolog Gaok yang diprakarsai oleh Bpk. Chik Hikmawan dan beberapa anak muda di sana, tema yang diangkat pun tidak lagi sebatas dongeng atau babad masa lalu, tapi juga tema-tema yang lebih segar menyerupai tema lingkungan, sosial dan kadang sentilan-sentilan politik.
.jpg)
