Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Wednesday, July 12, 2017

Cerpen Anak Sekolah Sobat Sejati

Cerpen Anak Sekolah "Sahabat  Sejati"

 Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar bunyi seseorang memanggilnya Cerpen Anak Sekolah Sahabat  Sejati
cerita-pendek-anak-sekolah" target="_blank">Cerpen Anak

“Amanda, Amanda, tunggu saya sebentar”.
Sekolah gres saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar bunyi seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari mengejarnya dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Nisa?”, tanya Amanda keheranan.

“Begini, saya mau mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas plastik kepada Amanda.
Amanda, melihat isi tas plastik tersebut, kemudian bertanya, “Lho, kenapa dikembalikan, kau tidak suka sepatu ini ya?”
“Tidak, ee…, maksudku, saya suka sepatu itu.”

“Lantas mengapa sepatu ini kau kembalikan kepadaku, apakah kau tidak memerlukannya?”, tanya Amanda menyelidik.
“Sebenarnya saya sangat memerlukan sepatu itu, tapi….”, bunyi Nisa terhenti, ia ragu-ragu untuk meneruskannya.
“Tapi apa Nisa?”, tanya Amanda lagi.

Nisa teringat dengan insiden kemarin. Ketika itu, ia gres saja pulang dari sekolah. Saat masuk rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di dapur.

“Bu…Bu… lihat”, katanya sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya menengok sebentar ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk masakannya di panci, “Lihat apanya?”
“Lihat ini dong Bu, manis sekali kan”, kata Nisa sambil mengangkat kaki kirinya, memperlihatkan sepatu gres yang sedang dipakainya.

Ibunya menengok sekali lagi sambil berkata, “Iya, manis sekali sepatu yang kau pakai. Omong-omong, sepatu itu pinjam dari siapa?”

“Ah Ibu, ini sepatu milikku”, kata Nisa dengan nada gembira.
“O begitu. Lho, jadi kau sudah membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah terkumpul banyak uang tabunganmu?”, tanya ibunya.
“Tidak, uang tabunganku masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini saya sanggup dari Amanda. Dia yang memberikannya untukku”
“Ah masak sih, kok bisa begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kau jangan suka meminta-minta lho pada teman-temanmu”, lanjutnya.

“Tentu tidak dong Bu”, sergah Nisa, “ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli sepatu gres ahad lalu, tapi ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu Amanda menawarkannya kepadaku. Lantas saya coba, kok pas sekali untukku. Lalu Amanda memberikannya untukku”.

“Wah beruntung sekali kau Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda mengetahuinya?”, tanya ibu Nisa.
“Tentu saja Bu. Mana berani Amanda memberikannya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mereka baik sekali ya Bu”, kata Nisa.
“Iya. Tapi saya yakin Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap memasak.
“Tidak mungkin dong Bu”, kata Amanda yakin, “Bapak niscaya juga akan gembira”.
“Tunggu saja kalau Bapak pulang nanti”, wanti-wanti ibunya.

Benar. Ketika ayahnya pulang ke rumah sesudah seharian mengemudi becak, Nisa pribadi menyambutnya dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi balasan ayahnya ibarat asumsi ibunya tadi.

“Apa? Kau diberi sesuatu lagi oleh temanmu. Cepat kembalikan. Kita sudah mendapatkan pemberian terlalu banyak dari mereka Nisa. Dulu tas dan peralatan tulis-menulis. Bulan kemudian seragammu juga diberi oleh ayah Amanda serta uang sekolahmu dilunasinya ketika Bapak tidak punya uang. Sudah tidak terhitung lagi pemberian mereka kepada kita”
“Tapi Pak, Amanda memberikannya dengan nrimo kepadaku”, kata Nisa membela diri.

“Betul. Bapak tidak menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu banyak. Mereka selalu membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada mereka? Tidak ada”, kata ayah Nisa dengan sedih.

“Mereka tidak mengharapkan akibat dari kita Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan ayahnya.
“Tidak. Pokoknya sepatu tersebut harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa dengan tegas. “Dan jangan mendapatkan lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad memang baik sekali, tetapi kita tidak bisa terus-menerus mendapatkan santunan dari mereka tanpa kita bisa membalasnya. Apa yang bisa kita berikan kepada mereka, mereka itu kaya sekali dan tidak memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”.

“Tapi Pak…”, Nisa mencoba menawar.
“Tidak ada tetapi, ini sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah harus dikembalikan besok”.
“Ya Pak’, kata Nisa menyerah.

Amanda memandang wajah Nisa yang duka ketika menceritakan sebab mengembalikan sepatu pemberiannya tersebut.
“Ya sudah, nggak usah sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kau simpan saja, tidak usah bilang ayahmu”, kata Amanda menghibur.

“Tidak bisa. Aku sudah komitmen pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata Nisa.
“OK. Aku simpankan dulu ya sepatu ini, nanti kalau ayahmu sudah tidak murka lagi, kau boleh mengambilnya lagi”
“Baiklah Amanda, kau baik sekali. Kamu memang sahabatku yang sejati”, kata Nisa sambil memeluk sahabat karibnya itu.

Keesokan harinya, Amanda tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di sekolah tapi Nisa tetap tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru memberi pengumuman kepada murid-murid sekelas Nisa:
“Anak-anak, ada kabar buruk. Pak Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan kendaraan beroda empat pagi tadi. Beliau terluka parah dan kini berada di rumah sakit memerlukan darah yang cukup banyak. Bapak akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan darah bagi Pak Ahmad. Kalian dibolehkan pulang lebih awal.”

Anak-anak segera berebut keluar kelas untuk pulang. Nisa juga segera keluar ruangan dan berlari menuju ke kawasan ayahnya biasa mangkal. Terlihat ayahnya masih duduk di atas becaknya menunggu calon penumpang. Nisa bergegas menemuinya dan menceritakan pengumuman Pak Guru tadi.

Mereka berdua segera menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di mana ayah Amanda dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya, seorang kerabat Pak Ahmad memperlihatkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah. Setelah darahnya diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan sebagian mendonorkan darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para guru, kondisi Pak Ahmad segera membaik.

“Terima kasih banyak, Pak Arif”, kata Pak Ahmad pada dikala menengok Pak Ahmad di rumah sakit. “Berkat santunan Pak Arif, saya bisa pulih kembali ibarat sediakala”.

“Ah tidak Pak, itu memang sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi kan selama ini keluarga Pak Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami bisa membalasnya”, kata ayah Nisa.

“Pak Arif tidak perlu memikirkan untuk membalasnya. Kami melaksanakan semuanya selama ini dengan ikhlas. Nisa kan sahabat Amanda yang paling dekat dan sering membantu Amanda dalam berguru dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira itu sudah cukup. Karena itu terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa saya”, kata ayah Amanda sambil tersenyum.

“Sama-sama Pak, kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas santunan yang tak terhitungkan selama ini”, kata Pak Arif.
Nisa dan Amanda saling berpandangan dengan bangga mendengar percakapan kedua orang bau tanah mereka.

“Kalau begitu, boleh kan saya mengatakan sepatu saya kepada Nisa”, tanya Amanda.
“Tentu saja, tentu saja Amanda. Begitu kan Pak Arif. Ini sebagai ungkapan terima kasih kami”, kata ayah Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”, jawab ayah Nisa tidak bisa menolaknya.

“Horeeeeeeeeee”, teriak Amanda dan Nisa tolong-menolong sambil melompat-lompat gembira.
“Ha….ha….ha….”, ayah ibu Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan kedua anak itu.

Previous
Next Post »

Post a Comment