Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Thursday, November 15, 2018

Aji Saka Legenda Asal Ajakan Aksara Jawa

 hiduplah seorang satria tampan yang sakti mandraguna berjulukan Aji Saka Aji Saka Legenda Asal Usul Huruf Jawa
Dikisahkan, di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang satria tampan yang sakti mandraguna berjulukan Aji Saka. Ia mempunyai sebuah keris pusaka dan serban sakti. Selain sakti, ia juga rajin dan baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya yang berjulukan Dora dan Sembada.

Pada suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng. “Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun hingga saya sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada. “Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.

Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang menempel pada badan mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang pria meminta tolong.

“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian bunyi itu terdengar. Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber bunyi tersebut. Tak usang kemudian, mereka mendapati seorang pria paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok. “Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.

Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli pria itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri pria itu. “Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.

Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamukan. Ia mengungsi alasannya raja di negerinya yang berjulukan Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari ia memakan daging seorang insan yang dipersembahkan oleh Patihnya yang berjulukan Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara rahasia ke kawasan lain.

Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar dongeng pria bau tanah yang gres saja ditolongnya itu. “Bagaimana itu sanggup terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran. “Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging insan bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, kemudian potongan jari itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, dia sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi bahagia makan daging insan dan sifatnya pun bermetamorfosis bengis,” terperinci lelaki itu.

Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamukan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, hasilnya mereka hingga di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat kemudian lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, alasannya takut dimangsa oleh sang Prabu. “Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora. “Kamu tunggu di luar saja! Biarlah saya sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas.

Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana. “Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana. “Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu. “Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka. “Hai, Anak Muda! Apakah kau tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain. “Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.

Para pengawal istana terkejut mendengar balasan Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, alasannya Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia pribadi menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa. “Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.

Betapa senangnya hati sang Prabu menerima usulan makanan. Dengan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong badan Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, kemudian berkata: “Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil memperlihatkan serban yang dikenakannya. “Hanya itu permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kau tidak ingin meminta yang lebih luas lagi?” sang Prabu menawarkan. “Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas serban ini,” jawab Aji Saka dengan tegas. “Baiklah kalau begitu, Anak Muda! Sebelum memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih dahulu,” kata sang Prabu.

Aji Saka pun melepas serban yang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu. “Ampun, Gusti! Untuk menghindari kecurangan, alangkah baiknya kalau Gusti sendiri yang mengukurnya,” ujar Aji Saka. Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil mengulur serban itu. Anehnya, setiap diulur, serban itu terus memanjang dan meluas hingga mencakup seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena saking senangnya menerima mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur serban itu hingga di pantai Laut Selatan tanpa disadarinya,. Ketika ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan serbannya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula bermetamorfosis seekor buaya putih. Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan pandai dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.

Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya. “Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan kepada Sembada bahwa saya yang menyuruhmu,” titah Raja yang gres itu. “Daulah, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri.

Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun memberikan maksud kedatangannya kepada Sembada. “Sembada, sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora. “Tidak, sabahatku! Tuan Aji berpesan kepadaku bahwa keris ini dihentikan diberikan kepada siapa pun, kecuali dia sendiri yang tiba mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.

Karena merasa menerima tanggungjawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua dua orang abdi akrab tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang akrab tersebut. Mereka sama berpengaruh dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.

Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya. “Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa hingga ketika ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka. Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya ia ketika tiba di sana. Ia mendapati kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas alasannya ingin menerangkan kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka membuat abjad Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang mempunyai kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan. Adapun susunan hurufnya sebagai berikut:
  • Ha na ca ra ka : Ada utusan
  • Da ta sa wa la : Saling bertengkar
  • Pa dha ja ya nya : Sama saktinya
  • Ma ga ba tha nga : Mati bersama
Sekelumit wacana Aji Saka
Aji Saka ialah seorang kesatria yang sakti mandraguna dari kawasan Jawa Tengah, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Aji Saka merupakan orang yang kali pertama membuat abjad Jawa yang dikenal dengan istilah dhentawyanjana atau carakan. Aji saka membuat abjad Jawa tersebut ketika ia sedang mengembara bersama seorang abdinya yang berjulukan Dora.

Scud Story memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan dongeng dan dongeng, mencakup unsur Intrinsik yaitu mencakup Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Previous
Next Post »

Post a Comment