Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Friday, November 16, 2018

Sejarah Kerajaan Sunda

Scud Story ialah Portal Edukasi yang memuat artikel ihwal Kisah Sejarah K Sejarah Kerajaan Sunda
Scud Story ialah Portal Edukasi yang memuat artikel ihwal Kisah Sejarah Kerajaan Sunda, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Tome Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Ciliwung. Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti watu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak bekerjasama dengan Kerajaan Sunda pecahan Tarumanagara, sedangkan yang di daerah Sukabumi bekerjasama dengan Kerajaan Sunda hingga masa Sri Jayabupati. Keterangan mengenai prasasti ini sanggup dilihat pada Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.

Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas daerah Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa mendapatkan tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi duakerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, ibarat yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman erat hulu Cipakancilan. Dalam dongeng Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakalbakal raja-raja Sunda dan memerintah hingga tahun 723 M.

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak perempuan dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan hebat waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini berjulukan Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian sehabis menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.

Sebagai hebat waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia ialah abang seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah watu untuk menuliskannya. Keempat watu bertulis itu ditemukan pada ajaran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di erat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di erat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini ialah disusun dalam abjad dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu kini disimpan di Museum Pusatdengan nomor isyarat D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga watu pertama (menurut Pleyte):

Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, magaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

Terjemahannya :
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 pecahan terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah dikala Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, menciptakan tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, pada dasarnya menyeru semua kekuatan mistik di dunia dan disurga semoga ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu semoga dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, “I wruhhanta kamung hyang kabeh” (Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada pecahan sungai (Cicatih) yang termasuk daerah Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran watu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidakmenunjukkan letak Ibukota Tarumanagara.

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menawarkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang ibarat dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia ialah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda ialah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber isu Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.

Tarusbawa ialah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 – 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini ialah tokoh Sanna, ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora ialah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Gurusempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena ialah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Sebenarnya Purbasora dan Sena ialah saudara satu ibu sebab kekerabatan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak sanggup menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh sebab ompong. Sementara, seorang raja tak boleh mempunyai cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.

Dengan dukungan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerjaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Simma. Sanjaya, anak Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Pubasora. Untuk itu ia meminta dukungan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan sehabis menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas dukungan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini eksklusif dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan rahasia dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu berjulukan Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang sebab ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua berjulukan Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul, yang tak sanggup menggantikan Wretikandayun sebab menderita “kemir” atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gegegr Sunten dan dengan rahasia menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia menerima dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, sehabis kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan sebab dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya menerima pesan dari ayahnya, Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkanPurbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta dia semoga Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi Penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu sebab takut kalau-kalau hal tersebut merupakan tipu muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya sendiri tidak sanggup menghubungi Balangantrang sebab ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia menganngkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma dikala itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi sebab ketekunannya mendalami agama dan bertapa semenjak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.

Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan sebab ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, ialah cucu Ki Balangantrang. Makara suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri mempunyai putera berjulukan Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia gres berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melaksanakan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan sentra di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin “garnizun” Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah mendapatkan kedudukan Raja Galuh sebab terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak sebab Sanjaya mempunyai sifat ibarat Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih sanggup diterima oleh Sanjaya sebab mereka tergolong angkatan renta yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut ibarat itu, maka ia lebih menentukan meninggalkan istana untuk bertapa di erat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi “mata dan telinga” Sanjaya. Tamperan mewarisi tabiat buyutnya, Mandiminyak yang bahagia menciptakan skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi sebab beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin gres berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan semenjak usang di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama mencicipi derita batin sebab kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi. Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua insiden ini rupanya tercium oleh senapati renta Ki Balangantrang.

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan daerah Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 – 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara rahasia menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan ibarat anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan sianghari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton. Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat ibarat insiden tahun 723 ketika Sanjaya berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga sanggup ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhirdengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep. Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah mengira itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu karenanya sanggup dilerai oleh Rajaresi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam negosiasi di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 – 739 berada dalam satukekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia mendapatkan kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia sanggup tetap hidup atas kebaikan hati Manarah. Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

Naskah renta dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada kala ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 – 766). Manarah di Galuh memerintah hingga tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melaksanakan manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melaksanakan tapa hingga tamat hayat, dan gres wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan kala 18.

Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit gres didirikan Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun sehabis Banga wafat. Kekalutan itu sanggup dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.

Keturunan Manarah putus hanya hingga cicitnya yang berjulukan Prabulinggabumi (813 – 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 – 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akhir perkimpoian di antara para kerabat keraton: Sunda -Galuh-Kuningan (Saunggalah).

Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka ialah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 – 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat erat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati ialah puteri Darmawangsa, adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Dan Karena kesepakatan nikah tersebut Jayabupati menerima anugerah gelar dari mertuanya, Darmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami insiden tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Darmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal membisu dalam kekecewaan sebab harus “menyaksikan” Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam semoga bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.

Di bawah ini ialah urutan Raja-raja Sunda hingga Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang :
  1. Maharaja Tarusbawa (669 – 723 M)
  2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
  3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).
  4. Rakeyan Banga (739-766 M).
  5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
  6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
  7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
  8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
  9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 – 895 M).
  10. Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913 M).
  11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
  12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
  13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
  14. Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
  15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
  16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989 M).
  17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
  18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
  19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030 M).
  20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M )
Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) – Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di daerah sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.

Scud Story memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan dongeng dan dongeng, mencakup unsur Intrinsik Cerita Dongeng yaitu mencakup Tema Cerita Dongeng, Amanat/Pesan Moral Cerita Dongeng, Alur Cerita/Plot Cerita Dongeng, Perwatakan/Penokohan Cerita Dongeng, Latar/Setting Cerita Dongeng, serta Sudut pandang Cerita Dongeng. dan kadang disertai  unsur Ekstrinsik Cerita atau Dongeng.



Previous
Next Post »

Post a Comment