Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Friday, November 16, 2018

Sejarah Kerajaan Tarumanegara

Scud Story yaitu Portal Edukasi yang memuat artikel perihal Kisah Sejarah K Sejarah Kerajaan Tarumanegara
Scud Story yaitu Portal Edukasi yang memuat artikel perihal Kisah Sejarah Kerajaan Tarumanegara, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Tarumanagara atau Taruma yaitu sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa serpihan barat pada masa ke-4 hingga masa ke-7 M, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanagara yaitu kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Sejarah
Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman yaitu raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan gres pada tahun 397 yang terletak lebih akrab ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura–pertama kalinya nama “Sunda” digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan bencana pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibentuk tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara yaitu Suryawarman (535 – 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memperlihatkan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang mendapatkan kembali kekuasaan pemerintahan atas wilayahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melaksanakan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.

Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum terang yaitu mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan sentra Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk tempat Kerajaan Sunda?

Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memperlihatkan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang memperlihatkan bahwa wilayah kekuasaannya meliputi pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 – 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) hingga ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.

Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan tanda-tanda bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, sentra pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa sanggup dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini hingga tahun 362 menjadi sentra pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII).

Ketika sentra pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara yaitu menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara sebab wilayahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memperlihatkan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah serpihan timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan gres di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang saat cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.

Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri memiliki dua orang puteri, yang sulung berjulukan Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua berjulukan Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, sebab Tarusbawa langsung lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak setuju dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
Raja-raja Tarumanagara
  1. Jayasingawarman 358-382
  2. Dharmayawarman 382-395
  3. Purnawarman 395-434
  4. Wisnuwarman 434-455
  5. Indrawarman 455-515
  6. Candrawarman 515-535
  7. Suryawarman 535-561
  8. Kertawarman 561-628
  9. Sudhawarman 628-639
  10. Hariwangsawarman 639-640
  11. Nagajayawarman 640-666
  12. Linggawarman 666-669
Prasasti
  • Prasasti Kebon Kopi, dibentuk sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
  • Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, kini disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya pertanda penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
  • Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang, ditemukan di pedoman Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi kebanggaan kepada Raja Purnawarman.
  • Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
  • Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
  • Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
  • Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai masa ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk serpihan tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang. Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah “kota pelabuhan sungai” yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai masa ke-19 jalur sungai itu masih dipakai untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih dipakai oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir. Prasasti pada zaman ini memakai abjad Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari abjad tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model abjad Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, abjad tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang dipakai naskah-naskah (lontar) masa ke-16.

Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan su-nda

Terjemahannya berdasarkan Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda. Karena angka tahunnya bercorak “sangkala” yang mengikuti ketentuan “angkanam vamato gatih” (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibentuk dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada pedoman Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya yaitu puisi empat baris, yang berbunyi: vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam

Terjemahannya berdasarkan Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang ibarat (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara. Selain itu, ada pula gambar sepasang “pandatala” (jejak kaki), yang memperlihatkan tanda kekuasaan —& fungsinya ibarat “tanda tangan” pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu memperlihatkan bahwa daerah itu termasuk tempat kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama “Rajamandala” (raja daerah) Pasir Muhara.

Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi: jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam Terjemahannya: Kedua jejak telapak kaki yaitu jejak kaki gajah yang cemerlang ibarat Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.

Menurut mitologi Hindu, Airawata yaitu nama gajah tunggangan Batara Indra ilahi perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata ibarat nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan terang ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para hebat sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para hebat diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan bacaaanya hingga sekarang. Demikian pula perihal gesekan sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon perihal bendera Tarumanagara dan gesekan sepasang “bhramara” (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala “kemudaan” nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Prasasti lain
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti kerikil peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris: shriman data kertajnyo narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam – padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam – bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.

Terjemahannya berdasarkan Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya berjulukan Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak sanggup ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.

Scud Story memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan dongeng dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik Cerita Dongeng yaitu meliputi Tema Cerita Dongeng, Amanat/Pesan Moral Cerita Dongeng, Alur Cerita/Plot Cerita Dongeng, Perwatakan/Penokohan Cerita Dongeng, Latar/Setting Cerita Dongeng, serta Sudut pandang Cerita Dongeng. dan kadang disertai  unsur Ekstrinsik Cerita atau Dongeng.


Previous
Next Post »

Post a Comment