Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Thursday, January 10, 2019

Cerpen Cinta - Saya Menyayangimu

Kamis pagi, 25 Agustus 2011. Hari pertama sang surya menampakkan wajah
terang sehabis hujan mengguyur setiap paginya. Senang bisa
meninggalkan payung dan jas hujan di rumah. Setiap saya lupa
membawanya, ibuku selalu memarahiku dan memberiku khotbah selama
berjam-jam. Itu membuatku muak. Tetapi, selalu ada hal kurang baik
yang menimpaku jikalau saya meninggalkan mereka dirumah.
Pagi ini, siswa siswi Sekolah Menengan Atas Negeri Mentari memikul tas mereka dengan
wajah ceria. Mereka terlihat sangat siap untuk mengikuti pelajaran.
Tetapi, ada beberapa orang yang merasa hari-harinya biasa saja.
Termasuk aku.

 Hari pertama sang surya menampakkan wajah Cerpen Cinta - Aku Menyayangimu


***

“Sssttt.. Lihat, Vik. Lihat ia tiba padaku..” Kata Lena.
“Siapa?”
“Robi,” Jawabnya.

Temanku, Lena yakni gadis yang sedang menanti seseorang yang akan
mengungkapkan perasaan kepadanya. Dia sangat yakin bahwa orang itu
yakni Robi.

2 bulan yang lalu, saya dan Lena duduk di depan kursi Robi dan Rangga.
Tanpa sengaja Lena menjatuhkan bukunya. Buku itu jatuh sempurna di bawah
kursi Robi. Jadi, Robi berusaha mengambilkannya. Saat mengembalikan
buku tersebut, tanpa sengaja Lena memegang tangan Robi dan mata mereka
bertemu. Lena pribadi terpesona dengan aura yang terpancar dari sang
Robi. Apalagi Robi yakni orang yang tampan dan manis.
“Maaf,” Kata Lena. Robi membalasnya dengan senyum manis.
Lena pun menghadap ke depan kembali. Ia tampak bahagia.
“Kenapa kamu, Na?” Tanyaku.
“Nanti saya ceritain pas istirahat,” Lena cengar-cengir sendiri dan
tanpa disadari Pak Arif sudah memperhatikannya dari tadi.
“Lena!” Bentak Pak Arif dengan wajah garangnya. “Ngapain kamu
cengar-cengir sendiri? Habis disambet kutilanak?!”
Seluruh siswa di kelas pun menertawainya. Kecuali aku. Aku menjadi
takut juga. Takut ikut kena semprot Pak Arif alasannya yakni Lena tengah
berbicara denganku sebelumnya.
Seketika Lena berhenti tersenyum, dan tubuhnya kaku. Ia ibarat tak
sanggup menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. “Eee... anu pak..”
“Lena! Maju ke depan! Kamu duduknya pindah ke barisan paling depan! Cepat!”
“Ta.. ta.. tapi pak...”
Pak Arif berkacak pinggang dan  memelototi Lena. Ia tidak ingin
permintaannya dibantah oleh Lena.
“I...i..iya pak..iya...”
Dengan sangat sangat kecewa, akibatnya Lena menyerah juga. Ia pindah
dan duduk dengan Nigel. Sedangkan aku, duduk bersama Daniar.
KRIING.....
Akhirnya pelajaran pun usai. Aku hendak mengemasi buku. Saat aku
menghadap ke belakang untuk memasukkan bukuku ke dalam tas, 2 orang di
belakangku tengah tertawa.
Aku mengernyitkan dahiku, “Kalian kenapa tertawa?”
“Ga apa-apa,” Robi kemudian pergi diikuti dengan Rangga.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Kemudian beranjak ke bangku
Lena yang baru. Aku melihat gerak-geriknya yang nampak kecewa. Jadi
saya berusaha menghiburnya. “Hey, tenanglah.”
“Aku ingin duduk disana lagi,” Lena menghembuskan nafas.
Kami berdua membisu sejenak. Aku berusaha memikirkan sesuatu biar Lena
bisa senang kembali. Dan muncul inspirasi di otakku. “He, bagaimana jika
begini saja. Kamu pindah denganku. Biar saya yang duduk dengan Nigel.”
Lena tampak tergugah karenanya. Ia tertarik dengan pendapatku.
“Baiklah,” Dia pun mulai menampakkan senyumnya kembali. Dengan
semangat, Lena segera memindahkan tasnya ke bangkuku dan memindahkan
tasku ke bangkunya. Aku tersenyum geli alasannya yakni caranya berjalan,
ibarat sedang berlari-lari kecil. “Okey, beres...”
Bel berdering 2 kali. Saatnya masuk kelas.
“Halo, Nigel,” Aku mencoba menyapa sobat sebangkuku.
Dia menanggapinya dengan hangat. “Halo, Vika.”
Tampak Robi dan Rangga memasuki kelas. Mereka berjalan melewati
bangkuku yang berada di barisan paling depan. Sepertinya Robi
melihatku sedang memperhatikannya. Ia mencoba agak sedikit tersenyum.
Tapi dikala mata kami bertemu, saya pribadi menundukkan kepalaku.
Sedangkan Rangga, ia menyapaku dan mengerdipkan matanya. “Hai,
Vika..”
“Iya...” Aku menjawab sedikit dan tersenyum. Tapi kenapa saya menjadi
gugup ibarat ini? Apakah ada sesuatu antara aku, Robi, atau Rangga?
Ah, mungkin hanya firasatku saja.
***
Hatiku berdebar-debar melihat Robi yang berjalan menuju bangkunya yang
berada dibelakangku. Kuperhatikan setiap langkahnya hingga ia duduk di
kursinya. Tanpa kusadari, wajahku telah menghadap ke belakang. Tapi
saya tak ingin beranjak. Aku ingin tetap ibarat ini. Memperhatikan
setiap detail wajahnya. Hingga ia membangunkan lamunanku. “Ngapain
kamu, Len?”
“Eh... Halo Robi,” Aku sedikit tersentak karenanya. Mencoba untuk
mengalihkan perhatiaan. “Ada kiprah gak ya?”
“Gak ada kayaknya. Coba tanya Rangga.”
“Eh, Rangga. Ada kiprah gak?”
“Ada,”
“Apa? saya belum ngerjain nih.”
“Tugasnya merhatiin Pak Arif,” Rangga pribadi cekikikan. Di susul
Robi yang ikutan cengar-cengir. Dan saya menjadi manyun karenanya.
Kami mulai bercerita satu sama lain. Sampai kami tertawa-tawa.
Beruntung dikala ini yakni jam kosong. Aku bisa mengakrabkan diri
dengan Robi.  Aku yakin, ia niscaya akan menyukaiku. Aku berharap dia
belum mempunyai pacar, dan akan menembakku dalam waktu dekat ini.
***
Oh, membosankan sekali harus ada jam kosong. Tidak ibarat biasanya,
saya selalu merasa senang jikalau ada jam ibarat ini. Itu dikarenankan
saya sudah tidak sebangku lagi dengan Lena. Jika ada dia, saya atau dia
niscaya sudah curhat dan bercanda tawa. Tapi, tidak kali ini. Aku belum
terlalu dekat dengan Nigel. Aku ingin berbicara dengannya, tapi masih
ada rasa aib dalam diriku. Itu membuatku merasa tidak nyaman. Jadi,
kali ini untuk pertama kalinya saya membenci jam kosong.
Aku menoleh ke belakang untuk menengok Lena, dan bermaksud ingin
memanggilnya. Tetapi, Lena sedang tidak memperhatikanku. Dia sedang
menghadap ke belakang, ke arah kursi Robi dan Rangga. Sepertinya,
mereka sedang asyik bercerita. Jadi, kuurungkan niatku untuk memanggil
Lena.
“Vik, kau lihat apa?” Tanya Nigel yang sedang melihatku melamun.
Aku hanya diam, alasannya yakni Nigel tak bisa membuyarkan lamunanku. Aku
masih tetap melamun. Aku membayangkan betapa beruntungnya menjadi
Lena. Dia sosok yang hebat. Gadis yang cantik, cerdas, dewasa, sabar
dan berbakat. Dia orang yang asyik, setiap diajak berbicara pasti
nyambung. Dia juga lucu dan manis, siapapun tak akan pernah bosan jika
melihatnya. Dan juga bakatnya bernyanyi, bunyi yang indah dan merdu.
Tak heran, banyak pria yang menyukainya. Beruntungnya jikalau Lena
itu yakni aku. Pasti dengan gampang saya akan mendapat laki-laki
impianku.
“Vik! Vika!” Panggilan Nigel kali ini mengagetkanku.
“Hah....? Ada apa?”
“Kamu ngelamunin apa sih?”
“Eh.. enggak kok,”
“Kayaknya dari tadi liatin Robi sama Rangga. Jangan-jangan kau suka
salah satu dari mereka ya?”
“Ih, enggak. Apaan sih!” Aku tertawa kecil dan menepuk lengannya.
Sejak dikala itu, saya mulai bisa bercanda dengan Nigel. Itu membuatku
berharap akan ada lebih banyak jam kosong lagi.
***

25 Agustus 2011. Saat jam istirahat kedua, saya dan Lena duduk di taman
sekolah. Bermaksud ingin menikmati sinar matahari yang memancar dari
sela-sela pohon di taman. Lena menceritakan bagaimana perkembangannya
dengan Robi selama 2 bulan ini.
“Robi ternyata belum punya pacar,” Lena memulai pembicaraan.
“Benarkah? Syukurlah jikalau begitu.”
“Firasatku mengatakan, ia juga menyukaiku.”
“Semoga saja. Selamat kalau begitu,” Aku tersenyum dan mencubit
pipinya. “Sepertinya sebentar lagi bakal ada yang punya pacar nih.”
Lena tersenyum bahagia. Ia sangat berharap akan menjadi pacarnya Robi.
Begitu juga aku. Aku berharap Lena bisa cepat-cepat pacaran dengan
Robi. Aku ingin melihatnya senang dengan Robi. Karena Robi adalah
lelaki yang baik, saya percaya ia tidak akan macam-macam dengan Lena.
Saat angin sepoi-sepoi membelai rambutku dan Lena, Robi tiba membawa
setangkai mawar merah. Ia terlihat semakin cool dikala berjalan. Lena
kemudian tergugah karenanya.
“Vik, lihat ia tiba padaku. Sepertinya ia akan menyatakan perasaan padaku.”
“Iya, Len.”
Saat Robi semakin dekat, Lena dan saya berdiri untuk menyambutnya. Robi
tersenyum memperhatikan kami berdua. Lalu ia berlutut dan menyodorkan
bunga kepadaku. Tunggu, kepadaku? Apakah ia salah arah?
“Vika.... saya ingin menyampaikan sesuatu. Aku bergotong-royong sudah
menyukaimu dari pertama saya melihatmu. Ingatkah kau dikala kita masih
kecil, dikala kau berobat di daerah ayahku? Aku melihatmu dan ingin
menemuimu. Tapi saya masih malu. Aku ingin berteman denganmu. Terlebih
dikala kita masih duduk di kursi TK, ternyata kita satu kelas. Dan
sekarang, kita bahkan bertemu lagi. Aku sudah yakin denganmu. Maukah
kau menjadi pacarku?”
Aku tak sanggup menjawab apa-apa. Aku melihat wajah Lena yang tampak
menahan amarah dan kekecewaan. Ternyata aku, sahabatnya sendirilah
yang membuatnya sakit hati. Ia kemudian pergi begitu saja. Aku hanya mampu
melihatnya saja, saya ingin memanggilnya dan menyampaikan padanya bahwa
ini hanyalah kesalahpahaman. Tapi, saya tak bisa melakukannya. Aku
bukan orang yang arif berbicara.
“Jadi, bagaimana, Vik?”
“A... a... aku.. saya tidak tahu!” Aku berlari meninggalkan Robi. Aku
menuju ke kelas. Aku ingin meminta maaf kepada Lena. Tapi, disana aku
melihatnya menangis. Aku mendekatinya, dan bermaksud ingin
memanggilnya. Tapi, kuurungkan niatku. Aku tidak berani menatapnya
lagi, apalagi berbicara dengannya. Dengan lemas, saya berjalan kembali
ke bangkuku. Menyapa Nigel, dan mempersiapkan pelajaran selanjutnya.
Bel berdering. Saatnya memulai pelajaran. Tapi, kenapa gurunya tak
kunjung datang. Sudah lebih dari 20 menit. Ah, jam kosong lagi
rupanya. Aku inginkan ada pelajaran. Aku ingin mengalihkan perhatianku
dari kecelakaan yang gres saja terjadi. Mungkin, hari ini
keberuntungan tidak berpihak padaku. Tubuhku rasanya lemas sekali. Tak
ada semangat sama sekali. Aku merenung sejenak. Sebenarnya saya juga
sudah mempunyai perasaan pada Robi. Tapi, saya tak tahu jikalau itu adalah
perasaan suka. Yang kutahu, saya hanya ingin mengenalnya lebih dekat
ibarat Lena mengenal Robi. Saat Robi tersenyum padaku, saya menjadi
gugup. Dan ternyata dalam lubuk hati kecilku, saya merasa bahagia. Dan,
saya tak pernah menyadari itu semua.
Langit mulai terlihat mendung. Kukira hari ini tidak akan hujan.
“Langit mulai mendung. Kukira hari ini tidak akan hujan,” Kata
seseorang yang duduk dibelakangku, ibarat sama persis dengan apa yang
kukatakan dalam hati barusan. Aku menoleh ke belakang. Aku sangat
terkejut tatkala itu yakni Robi. “Jangan kaget, Vik,”
“Kami gres bertukar kursi dengan Sally,” Sahut Rangga menjelaskan.
Tapi saya acuhkan mereka berdua. Tatapanku tertuju pada gadis cantik
yang kukagumi, Lena. Tapi juga yang saya iri. Dia masih terus menunduk
dan mengeluarkan air mata. Aku senang ia ditemani oleh Lian di
sisinya. Aku sobat yang jelek untuk Lena. Membuatnya hingga sesedih
ini. Lian lah sobat yang sempurna untuk Lena. Lian yang bisa mengusap
air mata Lena. Sedangkan aku, sobat yang bisa meremukkan hati Lena
meskipun saya tak inginkan hal itu.
Rangga melambaikan tangannya di depan wajahku. “Halo... Vika... Ngelamun apa?”
“Em.. Engga,” Aku menatap Lena kembali, tetapi tampaknya Lian sedang
melirikku dan Robi. Aku kembali menghadap ke depan. Aku tertunduk dan
diam. Aku tak berani berkutik alasannya yakni ada Robi dan Rangga di
belakangku. Kuhabiskan sisa waktu pelajaran untuk mencoret-coretkan
pensilku di kertas. Sedangkan Robi, tampaknya ia memperhatikanku dari
belakang. Dan Rangga mencoba untuk menggodaiku dan Robi. Aku hanya
mendiamkan mereka. Sebenarnya, ada keinginan untuk berbicara dengan
mereka tetapi saya harus mengerti keadaan dikala ini.
1 jam berlalu. Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aku segera mengemasi
barang-barangku dan ingin cepat-cepat pulang. Hari ini saya tidak
membawa payung alasannya yakni tadi pagi sangat cerah. Semoga saya hingga rumah
sebelum hujan turun.
Tik tik tik. Terdengar air hujan mulai menitik di genting kelas. Ku
tengok ke jendela. Air hujan mulai mengalir deras. Tarpaksa saya harus
menunggu hujan reda. Teman-teman sekelasku mengeluarkan sebuah payung
dan jas hujan dari tas mereka. Ternyata mereka masih mengantisipasi
akan datangnya hujan kembali. Tidak ibarat aku, meremehkan segala
hal. Mereka satu persatu pulang bersama teman-teman mereka. Walaupun
cuaca hujan, tidak menciptakan mereka lemas. Mereka tetap ceria.
Aku keluar kelas dan berdiri di teras kelas. Aku menanti hujan yang
mengalir di hadapanku berhenti. Lagi-lagi, saya merenung kembali. Air
mataku tak bisa kubendung lagi. Kubiarkan ia membasahi pipiku selagi
tidak ada yang melihatku.
“Sepertinya ada yang ga bawa payung hari ini,” Robi tiba tiba-tiba
dan ia memayungiku.
Cepat-cepat saya mengusap air mataku. Aku merasa malu, ternyata Robi melihatku.
“Vika. Aku mohon kali ini pulanglah bersamaku.”
Aku tak bergerak sama sekali. Berpura-pura tidak mendengarnya.
“Aku minta maaf perihal tadi.”
“Lena menyukaimu.”
“Em. A.. Aku tidak tahu.”
Kami kemudian terdiam sejenak. Mungkin, ia kehabisan kata-kata. Tanpa
terasa 30 menit telah berlalu. Dan hujan masih belum berhenti. Robi
juga masih berdiri di sampingku. Mungkin ia menunggu kata dariku.
“Kenapa ..”
“Hujannya belum berhenti,” Robi memotong kalimatku dan melanjutkannya.
“Vika. Aku benar-benar menyukaimu semenjak dulu. Hanya kamu. 6 tahun kita
tidak bertemu. Dan selama itu saya menunggumu.”
 “Sebenarnya....” Aku memberanikan diri untuk mengeluarkan kalimat
dari mulutku. “Aku juga mempunyai perasaan yang sama denganmu.”
“Benarkah?”
“Tapi Lena...”
“Em, saya punya ide. Bagaimana jikalau kita pacaran tapi secara diam-diam.
Hanya kita berdua yang tahu.”
Aku ibarat kehilangan pikiranku sehingga saya berkata, “Baiklah. Aku setuju.”
Dengan 1 payung berdua, saya dan Robi melangkahkan kaki di bawah hujan
untuk pulang. Aku dan ia mulai tersenyum malu-malu. Lalu, bercanda
tawa ibarat apa yang dulu ia lakukan dengan Lena. Ini ibarat mimpi
bisa menjadi pacar Robi, orang yang saya sukai.
Tiba-tiba Robi merangkulku yang tengah menggigil. Aku merasa sangat
nyaman berada di dekatnya. Kami bertatap wajah dan saling tersenyum.
“Aku menyayangimu, Vika.”
“Aku juga menyayangimu, Robi.”
Kebahagiaanku dan Robi. 25 Agustus 2011.

******

Cerpen Aku Menyayangimu
Karya: Afik Yunika

Demikianlah dongeng pendek romantis kali ini. Jangan lupa berkunjung kembali untuk melihat kumpulan cerpen cinta paling romantis di blog eposlima.

Previous
Next Post »

Post a Comment