Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Wednesday, February 6, 2019

Cerita Rakyat Nusantara - Malin Kundang

Berikut ini yakni sebuah cerita rakyat nusantara yang berasal dari sumatera barat yang sudah sangat familiar di indonesia...

Malin Kundang

Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang janda berjulukan Mande Rubayah. Ia memiliki seorang anak pria berjulukan Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, alasannya semenjak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.

Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nalayan. Ibunya suah renta ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit mirip ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya unuk mengabobati Malin dengan mendatangkan tabib.

Nyawa Malin yang hampir melayang itu kesannya sanggup diselamatkan berkat perjuangan keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat mengasihi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.

Ketika sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada dikala itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.

“Bu, ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”

Meski dengan berat hati kesannya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.

Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, hingga di manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan topan besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar. Ia mengadahkan kedua tangannya ke aas sembari berdo’a biar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang tiba merapat ia selalu menanyakan kabar wacana anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah menawarkan tanggapan yang memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya semakin renta dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.

Pada suatu hari Mande Rubayah menerima kabar dari nakhoda yang dulu membawa Malin bahwa kini malin telah menikah dengan seorang gadis anggun putri seorang ningrat kaya raya. Ia turut bangga mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a biar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.

“Ibu sudah renta Malin, kapan kamu pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam.

Namun hingga berbulan – bulan semenjak ia mendapatkan kabar malin belum juga tiba menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu dikala Malin niscaya akan kembali.

Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat – tingkat. Orang kampung menerka kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.

Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi bangun di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak senang alasannya disambut dengan meriah.

Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu yakni anak kesayangannya si Malin Kundang.

Belum lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia eksklusif memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.

“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis alasannya gembira.

“Mengapa begitu lamanya kamu tidak memberi kabar?”

Malin terpana alasannya dipeluk perempuan renta renta yang berpakaian compang – camping itu. Ia tak percaya bahwa perempuan itu yakni ibunya. Seingat Malin, ibunya yakni seorang perempuan berbadan tegar yang berpengaruh menggendongnya kemana saja. Sebelum ia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang anggun itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa kamu membohongi aku?”

lalu ia meludah lagi. “Bukankah dulu kamu katakan ibumu yakni seorang ningrat sederajad dengan kami?”

Mendengar katakata istrinya, Malin Kundang mendorong perempuan itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”

Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau alasannya ucapan istrinya. Seandainya perempuan itu benar ibunya, ia tidak akan mengakuinya. Ia aib kepada istrinya. Melihat perempuan itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak mirip engkau! Melarat dan dekil!”

Wanita renta itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih mirip ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau ia bukan anakku, saya maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang ia benar anakku, Malin Kundang, saya mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!”

Tidak usang kemudian cuaca di tengah bahari yang tadinya cerah, mendadak bermetamorfosis gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah topan besar. Menghantam kapal malin kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.

Ketika mathari pagi memancarkan sinarnya, topan telah reda. Di kaki bukit terlihat belahan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari daerah itu nampak sebongkah watu yang mirip tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Disela-sela watu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Demikianlah hingga kini bila ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan insan itu, terdengar bunyi mirip lolongan jeritan manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya mirip orang meratap meratapi diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !” konon itulah bunyi si Malin Kundang.

Orang yang durhaka kepada orang tuanya terutama kepada ibunya, orang tersebut tidak akan sanggup masuk nirwana kecuali sehabis menerima pengampunan dari ibunya.

Demikian dongeng rakyat kali ini, semoga bermanfaat untuk anda. Jangan lupa untuk membaca cerita motivasi dan cerita lucu lainnya di blog ini..

artikel terkait :
cerita rakyat - asal mula telaga biru
cerita rakyat - sangkuriang
cerita rakyat - asal mula danau limboto

Previous
Next Post »

Post a Comment