Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Tuesday, March 26, 2019

Cerita Rakyat - Asal Mula Telaga Biru

Berikut ini yakni sebuah cerita rakyat indonesia dari maluku utara,.. semoga dapat menunjukkan pesan moral kepada pembaca..

Asal Mula Telaga Biru
Dibelahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga.Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini menciptakan galau penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah menandakan bahwa sesuatu yang jelek akan terjadi. Apa gerangan yang menciptakan fenomena ini terjadi?

Berita perihal terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di kawasan itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa ingin tau penduduk. Upacara susila digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual susila berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur hingga kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.

Acara ritual susila menghasilkan tanggapan “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akhir patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).

Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai instruksi semoga semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk tiba dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berkembang menjadi hening. Hanya suara desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.

Tetua susila dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu gampang diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.

Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang bau tanah Magohiduuru menyampaikan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada isu kapan akan kembali.

Majojaru dan Magohiduuru yakni sepasang kekasih. Di ketika Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau demam isu berganti, bulan dan tahun berlalu tapi relasi dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.

Enam bulan semenjak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, angin kencang rupanya menghempaskan perahu cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.

Kabar perihal Magohiduuru kesannya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.

Dalam keadaan yang sangat tidak berangasan Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil menyesali kisah cintanya.

Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru kesannya karam oleh air matanya sendiri.

Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.

(Legenda Rakyat Halmahera Utara diceritakan kembali oleh Theo S. Sosebeko)

artikel terkait :
cerita rakyat - sangkuriang
cerita rakyat - asal mula danau limboto
cerita rakyat - asal permintaan danau toba

Previous
Next Post »

Post a Comment