Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Friday, September 7, 2012

Serat Kalathida: Eksistensialisme A La Jawa


Ahyaning arda rubeda, Ki Pujangga amengerti, mesu cipta matiraga, mudhar waraning gaib, sasmitaning sakalir, ruweding sarwa pakewuh, wiwaling kang warana, dadi badaling Hyang Widdhi, amedharken paribawaning bawana.[1]

Syair tembang sinom diatas merupakan pembuka dari kitab sastra kuno Serat Kalathida karangan (R.Ng) Ranggawarsita (1728-1802 tj). Kalathida sendiri secara harfiah terdiri dari campuran dua kata yaitu Kala yang artinya masa dan Tidha yang artinya samar, kabur atau tak menentu. Makara bila dua kata itu di gabungkan maka Kalathida bermakna sebuah zaman yang samar, gagap, kabur, abstrak dan tak menentu.

Ranggawarsita melalui karyanya inilah meramalkan bahwa akan tiba satu periode masa yang jungkir balik dan tak menentu (dia menyebutnya sebagai “zaman edan atau zaman kalabendhu”) sebuah zaman dimana pria akan menyerupai wanita dan wanita layaknya laki-laki, dimana sebuah akad dusta dimuntahkan, dan seribu topeng dikenakan, dominan insan pun akan kehilangan eksistensialisme kemanusiaannya alasannya yaitu insan lebih mementingkan untuk mengejar dimensi-dimensi keduniawian semata dan mengesampingkan dimensi spiritualitas kejiwaan. dan kita (kita?) menyerupai yang di ramalkan oleh serat itu

Amenangi zaman edan
Emoh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Ning yen tan melu
Boyan keduman melik
Kaliren wekasanipun[2]

Dan kalau ditilik-tilik dari kekinian yang kita hadapi kini ini, apakah mungkin inilah zaman kalabendhu yang di ramalkan oleh Ki Ranggawarsita sebagai “bila tatanan berguncang, akan tiba zaman kalabendhu” itu?

Terlepas dari benar tidaknya ramalan itu, berdasarkan saya Serat Kalathida mempunyai semacam semangat protes zaman, protes pada keadaan yang telah memporak-porandakan sendi kehidupan dan merampas kemanusiaan seorang manusia. Pada penggalan ini Ki Ranggawarsita menyerupai sedang menguraikan sebuah absurditas kehidupan, ketak menentuan dan mengeksplorasi sisi eksistensialisme seorang manusia, sehingga dari sini insan kemudian dibutuhkan menyadari bahwa dirinya yaitu wakil jagat raya yang harus dan mau mengenali dirinya sendiri sebagai makhluk teomorfis. Dengan begitu kemudian manusia-manusia itu pun berubah menjadi sebagai insan unggul. Manusia-manusia pilihan.

Dan ternyata, entah kebetulan atau memang kitab karangan ini beredar sampai ke Jerman dan Perancis, beberapa tahun kemudian pandangan Ki Ranggawarsita perihal humanisasi dan moralitas kehidupan ini diikuti pula oleh pemikir-pemikir modern di sana, sebut saja menyerupai Nietzche dengan uebermencsh dalam kotbah monumentalnya Zarathustra, atau Sartre lewat ensoi dan poursoi-nya, Camus lewat moralitas kehidupannya, bahkan Edmund Husserl dengan filsafat penomenologisnya dan banyak lagi.

Yang mungkin membedakan pandangan Ki Ranggawarsita dengan para filsuf Jerman dan Perancis di atas hanyalah terletak pada bagaimana cara penyelesaian mereka terhadap penomena yang mereka hadapi itu. kalau Ranggawarsita (mungkin alasannya yaitu factor cultural) lebih menekankan pada perilaku pasrah dan mendekatkan diri ke Tuhannya, maka berbeda jalan yang di tempuh oleh Nietzsche, Husserl, Camus dan Sartre (lagi-lagi mungkin alasannya yaitu factor cultural juga). Para filsuf  itu lebih menentukan bersikap memberontak pada tatanan yang membelenggu keberadaan kemanusiaan mereka.

“Eksistensialisme a la Ranggawarsita termanipestasi dalam penyerahan total dan mutlak pada keberadaan Tuhannya”, demikian kata Supaat I. Latief, “sehingga eksistensinya sendiri (eksistensi pribadi) kehilangan sebuah kemungkinan.” Dengan begitu, keberadaan menyerupai ini merupakan keberadaan kebebasan yang telah dicabut dari posibilitasnya untuk sanggup mengubah tatanan. Sikap pasrah Ranggawarsita ini sanggup kita saksikan lewat syair yang dia tulis di salah satu penggalan serat Kalathida di bawah ini:
Sageda sabar santosa, mati sajeroning ngurip, kaling ing reh aruara, marah angkara sumingkir, tarlen meleng malatsih, sanityasa tyas mamasuh, badharing sapudhendha, antuk mayar sawatawis, borang angga suwarga mesi martaya.[3]
Meskipun begitu, perilaku pasrah pada keberadaan Tuhan yang di ajarkan oleh syair di atas tentu saja tidak serta merta mengharuskan insan dalam mencapai kesucian harus meninggalkan segala tetek bengek keduniawian mereka dan ngejogrog namru di tempat-tempat sunyi dan jauh dari orang-orang di sekitarnya menyerupai kain pel yang habis di pakai. Seorang manusia, boleh-boleh saja berada di daerah keramaian, selama ia tidak terganggu dan tetap punya kesempatan untuk merenung dan kontemplasi pada permasalahan eksistensialis. Sendiri dalam keramaian. Mati sajeroning ngurip. Iwak rak melu asin senajan urip ning segoro. Dengan demikian, pada alhasil dari laris lampah yang ia jalani itu dibutuhkan sang insan sanggup memberi makna dan nilai terhadap kehidupan di sekitarnya, ditengah keong sak kenong matane, tikus-tikus pada ngidung lan kucing gering kang njagani.

Kalau sudah begitu, pada tingkat selanjutnya barulah sang insan boleh meneruskan perjalanannya menuju dunia transenden untuk kemudian menjadi soko guru atau pandhito ratu yang mumpuni untuk menunjukkan teladan tauladan dan pesan yang tersirat pada manusia-manusia disekitarnya…

Previous
Next Post »

Post a Comment