Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Friday, September 7, 2012

Naskah Kuno; Identitas Budaya Yang Terabaikan*


Oleh: Magdalia Alfian**


I
Indonesia merupaksan salah satu negara di dunia yang paling beragam komposisi jati diri budaya dan etniknya, dan kemajemukan itu menjadi salah satu sumber pujian bangsa. Semboyan yang tercantum pada lambang negara Bhineka Tunggal Ika, merupakan refleksi kenyataan tersebut. Negara yang dihuni oleh ratusan kelompok etnik dan kaya akan bahasa serta kebudayaan daerah, secara histories dipersatukan oleh kesamaan nasib yang dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda selama kurun waktu yang cukup panjang.

Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada serta seni administrasi untuk mempersatukan aneka macam kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, alasannya yaitu secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya ketunggal-ikaan dilarang mematikan kebhinekaan. Begitu pula sebaliknya, sebuah unsur kebhinekaan dilarang dipaksakan untuk menjadi contoh normatif bagi kehidupan seluruh bangsa (Budiman, 1999, 5-9).

Yang menjadi kasus yaitu bagaiman konsep tersebut sanggup diterjemahkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggal-ikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara.

Sebagaimana tercantum dalam klarifikasi Undang-Undang Dasar 45, bahwa “Kebudayaan bangsa yaitu kebudayaan yang timbul sebagai buah perjuangan budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan usang dan orisinil yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia”. Dengan begitu keanekaragaman yang tercakup dalam “Bhineka Tunggal Ika” dimasudkan lebih pada keanekaragaman kebudayaan (multicultural society). Dan puncuk-puncak kebudayaan itu hendaknya diartikan sebagai unsur-unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah yang antara lain sanggup dilihat dari naskah kuno yang dimiliki oleh kawasan yang bersangkutan.

Bila pementingan pada keanekaragaman kebudayaan dan tidak pada suku bangsa atau etnisitas, maka paling tidak bangsa Indonesia sanggup terhindar dari bangkitnya gerakan-gerakan etnosentris yang bersifat primordial. Oleh alasannya yaitu itu konsep yang paling cocok untuk itu yaitu multikulturalisme yang penekanannya pada kesederajatan kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikulturalisme ini yaitu sebuah perspektif alternatif untuk mengatasi pertentangan dan konflik sosial yang bernuansa etnis, agama dan aneka macam identitas primordial lainnya (Magdalia, 2004).

Watak masyarakat multikultur yaitu toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful-co-existence, hidup berdampingan secara damai. Setiap entitas sosial dan budaya masih tetap membawa serta jati dirinya, dan tidak terlebur kemudian hilang, tetapi juga tidak diperlihatkan sebagai pujian melebihi penghargaan terhadap entitas lainnya. Dalam perspektif multikulturalisme ini baik individu maupun kelompok dan aneka macam entitas etnik dan budaya hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur masing-masing. Masyarakat bersatu dalam ranah sosial, tetapi antar etnisitas tetap ada perbedaan. Konsep multikulturisme ini sanggup berkembang dalam masyarakat yang demokratis ibarat di Indonesia, alasannya yaitu konsep ini menekankan perbedaan dalam kesederajatan (Parsudi, 2003).

II

Setiap bangsa niscaya mempunyai catatan mengenai perjalanan bangsanya, tak terkecuali bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang mempunyai bermacam-macam etnik dan budaya, tentulah mempunyai catatan panjang mengenai kehidupan masyarakatnya, sosial budayanya, pemerintahan dan sebagainya. Perjalanan yang dimulai dari jaman pra sejarah itu banyak sekali meninggalkan cacatan yang terangkum dalam naskah-naskah kuno atau dokumen yang merupakan sumber data penting bagi masyarakat Indonesia.

Naskah kuno mengandung informasi yang berlimpah. Isi naskah tidak hanya terbatas pada kesusasteraan, tetapi meliputi aneka macam bidang ibarat : agama, sejarah, hukum, adat-istiadat, obat-obatan, teknik, filsafat dan sebagainya. Oleh alasannya yaitu itu para jago di aneka macam bidang seharusnya sanggup memanfaatkan data yang terpendam dalam koleksi naskah. Para sejarawan contohnya sudah usang memakai teks-teks naskah kuno yang sudah diterbitkan oleh para filolog. Sementara naskah yang belum diterbitkan masih banyak, bahkan masih banyak yang disimpan oleh masyarakat setempat.

Naskah dalam bentuk babad atau teks yang menyebut dirinya sejarah sanggup pula digunakan sebagai sumber penulisan sejarah lokal, ibarat : Babad Tanah Jawi, Babad Banjar, Babad Cirebon, Hikayat Aceh dan Hikayat Raja-raja Pasai. Menurut CC Berg babad sanggup tergolong dalam tiga kelompok yaitu : 1. Isi tidak sesuai dengan judul, 2. Isi sesuai dengan judul dan 3. Isi bercerita perihal periode tertentu. Naskah sebagai hasil karya tulis yang menggambarkan perihal masyarakat tertentu sebagai bukti akan kesadaran bersejarah, meskipun di dalamnya banyak ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kaedah sejarah (Madjid, 2004, 7).

Naskah sebagai sumber budaya lokal non-material juga mengandung aneka macam pemikiran, pengetahuan, adat-istiadat serta sikap masyarakat pada masa kemudian yang jauh lebih besar keberadaannya (Ikram, 1997, 24). Di antara aneka macam kategori naskah nusantara, kita sanggup mengetahui bagaimana perspektif budaya kawasan tertentu. Dalam perspektif budaya Sunda terhadap politik misalnya. Melalui naskah kuno Sunda kita sanggup melihat jauh ke belakang dengan menelusuri nilai-nilai politik yang terkandung dalam penyelenggaraan pemerintahan yang pernah berlaku pada jaman kerajaan Sunda masa lampau.

Pada tahun 1518 Masehi, pada masa pemerintahan Sribaginda muncul suatu karya sastra keagamaan dan kesusilaan yang diberi nama Sangyang Siksa Karesian. Karya sastra ini berisi fatwa kesusilaan atau norma-norma sikap yang ditujukan bagi semua orang (masyarakat kerajaan Sunda). Namun pada potongan awal isi naskah tersebut dikemukakan suatu prinsip dasar fatwa guna melangsungkan pemerintahan yang disebut sebagai fatwa Sangyang Sasanakreta (jalan/media kesejahteraan) yang berbunyi:

Siapa (pemerintah/penguasa/raja) yang hendak menegakkan sasanakreta, biar sanggup usang hidup, usang berjaya, ternak berbiak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang, (sumbernya) terletak pada orang banyak (rakyat). (Suwaryo, 2004, 7).

Dari suara fatwa tersebut terlihat bahwa prinsip dasar pedoman bernegara dalam kerajaan Sunda untuk mencapai kesejahteraan yaitu dengan mengutamakan orang banyak (rakyat).

Sementara syarat untuk menjadi pemimpin yaitu harus cageur, bageur, bener dan pinter. Cageur itu maknanya sehat, baik jasmani maupun rohani. Bageur berarti baik, sopan, tidak sombong dan mengayomi rakyat. Bener yaitu jujur, tidak korupsi dan kolusi. Dan pinter artinya orang yang cerdas, pintar dan mempunyai kapasitas dan kompeten. Yang menarik di sini yaitu konsep pinter ditempatkan terakhir sehabis konsep bener. Ini berarti bahwa percuma saja seorang pemimpin itu pinter jikalau tidak jujur, sombong dan jauh dari rakyat.

Dalam naskah Palembang misalnya, banyak memuat kekayaan peninggalan yang merekam kehidupan spiritual dan jatidiri. Naskah-naskah tersebut dihimpun dan dibukukan dalam bentuk buku yang berjudul Jati Diri Yang Terlupakan : Naskah-naskah Palembang. Buku yang diedit oleh Prof. Dr. Achadiati Ikram ini berisi kumpulan naskah yang dikerjakan oleh 13 penulis (Latifah Ratnawati, Retno Purwanti, Achadiati Ikram, Tjiptaningrum Fuad Hasan, Maria Indra Rukni, Munawar Holil, Mu’jizah, Nyimas Umim Kalsum, Titiek Pudjiastuti, Dewaki Kramadibrata Nugardjito, Laily Yulita, Surip Suwandi dan Suyati Suwarso) dengan tema yang beragam. (Ikram, 2004, vii-xiv).

Selain naskah Palembang, cukup banyak naskah nusantara yang sudah dibukukan ibarat Naskah Tradisi Basimalin yang berisi perihal kesusasteraan Minangkabau yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1998. Selain itu juga ada buku Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah. Buku yang disunting oleh Henri Chambert-Loir ini memuat perihal kisah Asal-Usul Hikayat Bima yang berisi mitos, legenda dan sejarah yang sangat bermanfaat bagi penulisan sejarah.

Kemudian ada juga buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia yang berhubungan dengan The Ford Foundation, Universitas Hasanuddin dan Gadjah Mada University Press tahun 2003.

Bagi masyarakat Bugis, Makasar dan Mandar di Sulawesi Selatan, tradisi tulis sangat penting artinya sebagai sarana dedikasi buah pikiran dan perasaan (PaEni, 2003, v). Oleh alasannya yaitu itu tidak heran jikalau mereka mempunyai naskah-naskah tradisional yang dikenal dengan Lontara. Meskipun tradisi tulis ini belum diketahui secara niscaya kapan dimulainya, namun beberapa jago menyampaikan bahwa tradisi tersebut sudah ada sebelum agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan (sebelum era ke 16). Hal ini sanggup dibuktikan melalui situs kerikil bertulis di Somba Opu. Juga tampak dari kisah-kisah kuno Bugis yang dikenal dengan kisah Galigo yang kandungan ceritanya menyangkut era ke 14-17 Masehi.

Melalui kisah-kisah perjalanan sejarah yang cukup panjang ini menyebabkan sejarah yang dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, menyebabkan kisah yang termuat di dalamnya sangat kaya dengan informasi sejarah dan legenda. Naskah-naskah semacam ini sangat penting artinya bagi studi-studi sosial kemasyarakatan. Sebab melalui naskah-naskah ini sanggup diperoleh pengetahuan perihal dinamika kehidupan yang dialami suatu masyarakat (PaEni, 2003, vii).

Selain mengenai kisah-kisah perjalanan sejarah, lontara-lontara Sulawesi Selatan juga memuat silsilah, ramalan-ramalan, petunjuk bercocok tanam, tata niaga, mistik, undang-undang pelayaran, perjanjian, tuntunan keagamaan, undang-undang kerajaan, tasawuf, metode dan taktik erang, arsitektur, teknologi pembuatan kapal dan sebagainya.

Akan halnya naskah-naskah kuno di Bali pada umumnya terdiri dari naskah lontar. Naskah-naskah yang ada di Bali ini sudah banyak yang disimpan dan dirawat oleh lembaga-lembaga tertentu ibarat di gedung Kertya, Balai Penelitian Singaraja, Pusat Dokumentasi Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali dan Museum Daerah Bali. Meskipun demikian masih banyak naskah-naskah kuno Bali yang disimpan oleh masyarakat setempat.

Fakultas Sastra Universitas Udayana bahkan telah mempunyai perpustakaan Lontar tersendiri dengan Lembaga Pustaka Lontara Fakultas Sastra Universitas Udayana. Bahkan universitas ini mempunyai ciri khas tersendiri dimana kebudayaan merupakan ciri utamanya (lihat Statuta Unud, 1977). Bila dilihat dan dihubungkan dengan pulau Bali, ciri tersebut sangat sempurna mengingat masyarakat Bali mempunyai kebudayaan yang sangat tinggi yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Bila dilihat dari segi warisan kebudayaan dan agama, Bali mempunyai ciri tersendiri dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia. Bali yang semenjak dulu dikenal sebagai gudang kebudayaan, oleh Stutterheim disebut sebagai Museum Hidup yang menyimpan dan memelihara ciri kekhususan tersendiri.


III
Dengan sifat yang pluralistik dan multikultural, agaknya kita perlu memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi harus bisa saling mengikuti keadaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks itu pula maka ratusan suku bangsa yang mempunyai kebudayaan kawasan sanggup dilihat sebagai aset bangsa tempat bersemayamnya semangat multikultural. Hal itu sanggup ditemukan dalam naskah-naskah kuno yang dimiliki.

Potensi budaya-budaya masyarakat harus dipelihara dan direvitalisasi, sehingga karya-karya local genius sanggup muncul sebagai modal dasar pembangunan dalam bentuk barunya yang moderen dan sepadan dengan kemajuan teknologi. Di samping itu perlu perhatian pada kearifan lokal yang dimiliki secara bebuyutan dalam merespons tantangan kehidupan yang dihadapi. Kita telah mencatat aneka macam folk wisdoms yang hingga ketika ini masih sanggup dibuktikan keunggulannya ibarat yang sanggup kita temukan dalam naskah-naskah kuno yang kesemuanya merupakan potensi pembangunan yang bermanfaat dan sanggup diterapkan dari, oleh dan untuk masyarakat sendiri (Swasono, 2000, 6-7). Hadirnya ilmu dan teknologi Barat tidak untuk menggusur aneka macam folk wisdoms ini, melainkan untuk melengkapi atau meningkatkan pemberdayaannya. Kesemua ini sanggup menjadi potongan dari upaya membentuk dan memperkokoh jatidiri masyarakat, sebagai potongan dari nation and character building Indonesia.

Dengan begitu maka setiap suku bangsa sanggup memperlihatkan bantuan untuk memperkuat rasa kebangsaan dan menyebabkan keragaman budaya sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan negara. Dengan memperhatikan amanat Undang-Undang Dasar 1945, maka perlu meningkatkan identitas budaya melalui penggalian dan pengungkapan nilai-nilai budaya yang sanggup menjadi contoh dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Masih banyak naskah-naskah kuno yang belum dikerjakan dan dianalisis untuk pengembangan dan training kebudayaan.

Jakarta, 13 Oktober 2004
Magdalia Alfian

____________________________________________
*) Makalah disampaikan pada Seminar Naskah Kuno Sebagai Perekat NKRI di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 28 A Jakarta,
12 Oktober 2004.
**) Lektor Kepala pada Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Asisten Deputi Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Previous
Next Post »

Post a Comment