Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Saturday, May 18, 2013

Kampung Naga; Kampung Susila Di Jawa Barat


KAMPUNG NAGA yakni salah satu kampung watak dari sekian kampung-kampung watak yang ada di Jawa barat dan masih tetap melestarikan kebudayaan dan watak leluhurnya. Kampung Naga sendiri terletak di Desa Neglasari Kecamatan Salawu kabupaten Tasikmalaya yang tepatnya berada di antar jalan raya yang menghubungkan antara tempat Garut dengan Tasikmalaya dan berada sempurna di sebuah lembah yang subur yang dilalui oleh sebuah sungai berjulukan sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray Garut. Jarak dari Kampung Naga ke kota Tasikmalaya sendiri sekitar 30 km. untuk mencapai kampung Naga yang penduduknya memeluk agama Islam ini harus melalui medan jalan yang tidak mengecewakan terjal yakni harus menuruni anak tangga hingga sungai Ciwulan dengan kemiringan tanah sekitar 45 derajat.

Yang menciptakan Kampung Naga ini unik yakni sebab penduduk kampung ini menyerupai tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap memegang teguh watak istiadat yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka. Uniknya lagi, sebab areal Kampung Naga yang terbatas hingga tak memungkinkannya lagi mendirikan rumah di kampung itu, banyak penduduk Kampung Naga pada balasannya menyebar ke banyak sekali penjuru tempat menyerupai ke Ciamis dan bahkan Cirebon tapi penduduk yang tak lagi berdiam di Kampung Naga ini tetap saja masih menjunjung tinggi warisan watak budaya leluhurnya. Jika pada hari-hari tertentu Kampung Naga akan diselenggarakan contohnya watak dan upacara sa-Naga yang dipusatkan di Kampung Naga maka penduduk yang tak lagi tinggal di kampung ini pun akan menyempatkan hadir demi ikut berpartisipasi dalam perayaan atau upacara watak tersebut.

Nenek moyang Kampung Naga sendiri konon yakni Eyang Singaparana yang makamnya sendiri terletak di sebuah hutan disebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap keramat dan selalu diziarahi oleh keturunannya yakni warga Kampung Naga pada dikala mereka akan melakukan upacara-upacara watak atau yang lainnya. Kepatuhan warga Kampung Naga sendiri dengan tetap menyambangi makam leluhurnya ini sekaligus mempertahankan upacara-upacara adat, termasuk juga teladan hidup mereka yang tetap selaras dengan watak leluhurnya menyerupai dalam hal religi dan upacara, mata pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahasa dan hingga kepada peralatan hidup (alat-alat rumah tangga, pertanian dan transfortasi) dan sebagainya dengan dasar sebab mereka begitu menghormati budaya dan tata cara leluhurnya. Mereka tetap kukuh dalam memegang teguh falsafah hidup yang diwariskan nenek moyangnya dari generasi ke generasi berikutnya, dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran watak yang sanggup membahayakan bukan saja bagi si pelanggar, tetapi juga bagi seluruh isi Kampung Naga dan bagi orang-orang sa-Naga.

Disamping gaya hidup dan teladan kebersamaan mereka yang tak kalah unik dari Kampung Naga yakni struktur bangunan tempat tinggal mereka. Keunikan tersebut tercermin dari bentuk bangunan yang berbeda dari bangunan pada umumnya termasuk letak, arah rumah hingga bahan-bahan yang membentuk rumah itu semuanya selaras dengan alam dan begitu khas. Dengan ketinggian kontur tanah yang berbeda-beda di tiap tempat, maka rumah-rumah di Kampung Naga di buat berundak-undak mengikuti kontur tanah. Deretan rumah yang satu lebih tinggi dari rumah yang lain dengan pembatas sangked-sangked watu yang disusun sedemikian rupa hingga menciptakan tanah yang di atas meski ada bangunannya tidak gampang longsor ke bawah dan menimpa rumah yang ada di bawahnya. Sekeliling kampung pun dipagari dengan tanaman (pohon bambu) hingga membentuk pagar hidup yang begitu asri.



Dilihat dari bentuk perkampungannya, penduduk Kampung Naga sangat dekat kekerabatannya. Hal itu tercermin dari teladan rumah yang saling berkelompok dan saling berhadap-hadapan dengan tanah lapang ditengah-tengah sebagai areal bermain anak-anak. Seluruh rumah dan bangunan-bangunan yang ada atapnya memanjang arah barat ke timur, pintu memasuki kampung terletak di sebelah timur, menghadap ke sungai Ciwulan hingga kalau dilihat dari ketinggian akan terlihat begitu indah dan mengingatkan kita pada atap-atap rumah di Tiongkok jaman kungfu dulu. Di pecahan sebelah barat lapang terdapat bangunan masjid dan pancuran, sejajar dengan masjid terdapat bangunan yang dianggap suci yang dinamakan Bumi Ageung, sebuah bangunan rumah tempat menyimpan barang-barang pusaka serta rumah kuncen (Kepala Adat). Selain itu, terdapat bangunan tempat menyimpan hasil pertanian berupa padi yang disebut leuit

Lebih jauh, mengusut teladan hidup dan kepemimpinan Kampung Naga kita akan mendapat keselarasan antar dua pemimpin dengan tugasnya masing-masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin watak atau yang oleh penduduk Kampung Naga disebut sebagai Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Kampung Naga. Pola kepemimpinan menyerupai ini mengingatkan saya pada teladan kepemimpinan ulama dan umarah. Sang kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal watak istiadat kalau berafiliasi dengan sistem pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RK, pun sebaliknya, Pak RT dan Pak RK pun mesti taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan watak istiadat dan kehidupan kerohanian.



Beralih ke sistem kesenian Kampung Naga, kita akan bersitatap dengan banyak sekali kesenian tradisional yang tetap dilestarikan keasliannya yang antara lain menyerupai kesenian terbangan, angklung, dan beluk. Kesenian-kesenian ini biasanya akan ditampilkan bilamana warga Kampung Naga sedang melakukan banyak sekali upacara-upacara watak menyerupai upacara sasih, upacara berziarah ke kubur keramat nenek moyang dan upacara yang berafiliasi dengan bulan-bulan suci atau agung dalam Islam, contohnya bulan Muharram, Maulud, hari Raya Idulfitri, dan sebagainya. Meski begitu, kesenian ini pun kerap kali dipentaskan tidak hanya untuk mengiringi upacara-upacara watak tapi juga pada dikala hajatan perkawinan dan khitanan sebagi sarana hiburan sekaligus penyemarak pesta.

Previous
Next Post »

Post a Comment