Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Saturday, May 18, 2013

Kehidupan Orang Rimba Dan Batin Sembilan


Pola hidup dan mata pencaharian Suku Rimba

Pola hidup Orang Rimba pada umumnya yaitu berkelompok dengan satu pemimpin suku yang bergelar Temenggung dan satu wakil yang disebut dengan Depati yang bertugas mewakili Temenggung ketika yang bersangkutan berhalangan hadir dalam acara-acara penting suku mereka. Seorang yang bergelar Depati bertugas menuntaskan hal-hal yang terkait dengan aturan dan keadilan. Strata sosial lainnya yang terdapat dalam susunan kepemimpinan suku Rimba yaitu adanya seorang yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu tertentu. Pengulu yaitu sebuah institusi sosial yang mengurus dan memimpin masyarakat orang Rimba. Ada juga yang bertugas menyerupai dukun, atau ,i>Tengganai dan Alim yang mengawasi dan melayani masyarakat dalam duduk kasus spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat sopan santun dan sebagainya. Seorang pemimpin atau Temenggung sendiri dalam masyarakat Rimba dan Batin Sembilan sanggup dikenali dengan bentuk rumahnya yaitu seorang Temenggung mendiami sebuah rumah yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Kediaman Temenggung ini mempunyai dinding kayu, atapnya dari daun dengan lantai yang kira-kira 2 meter lebih tinggi dari tanah. Rumah ini oleh masyarakat Suku Rimba disebut dengan Bubangan. Sedangkan rumah warga biasa yang disebut sampaeon lebih sederhana, dengan lantai kira-kira setengah meter tingginya dari tanah. Lantai dibentuk dari batang kecil kayu lingkaran dan atapnya dibentuk dari plastik hitam yang didapat dari pasar mingguan.

Disamping itu, selain bubangan dan sampaeon warga suku Rimba pun mempunyai rumah lain yang disebut dengan sudung. Sudung ini bentuknya lebih sederhana yakni tanpa lantai dan hanya menggunakan atap saja yang biasanya terbuat dari plastik sebab mengingat fungsi sudung sendiri yang hanya sebagai daerah tinggal sementara ketika sedang berburu atau pindah ke daerah lain ketika melangun. Memburu binatang di hutan dilakukan sendiri atau dilakukan oleh beberapa anggota kelompok orang Rimbo. Mereka mungkin pergi jauh dari hunian dan tinggal di hutan beberapa hari sebelum mereka kembali dengan hasil buruan. Waktu itu ada satu atau dua orang pria yang menjaga wanita dihunianya. Ketika orang Rimba menemukan pohon di hutan yang menjadi potongan tanah tradisional mereka, dan pohon tersebut bernilai guna tinggi, menyerupai pohon kedondong dengan sarang lebah, atau durian yang belum dimiliki, orang itu sanggup memberi tanda kepemilikannya di batang atau sekitarnya supaya orang Rimba lain tahu pohon itu tidak harto samo, tetapi milik pribadi. Memang, dalam tradisi suku Rimba harta itu dibagi menjadi dua jenis yakni Ada harta yang bersamo dan yang tidak bersamo. Misalnya, pada umumnya ketika mereka membuka ladang dilakukan sebagai acara gotong-royong tetapi kemudian ladang dibagi antara keluarga inti sehabis tanah di buka dan kayu bekas di daerah itu dibakar. Setiap keluarga menerima potongan tanah yang dipakai untuk menanam materi kuliner pokok menyerupai ubi kayu. Pohon-pohonan yang bernilai tinggi dan ubi kayu yang ditanam sendiri yaitu harto yang tidak bersamo.

Selain berburu, teladan mencari nafkah dari suku Rimba sendiri yaitu dengan bercocok tanam. Mereka menanam ubi kayu (Manihot uthlissima) atau perkebunan kecil pohon karet (Helvea brassiliensis). Selain untuk di jual kepada orang luar (orang terang) tumbuhan yang mereka tanam pada umumnya sebagian besar untuk dikonsumsi sendiri. Uniknya, proses tukar barang antara orang rimba dengan dunia luar (orang terang) itu sendiri tanpa komunikasi dan pertemuan secara visual sama sekali. Barang yang mau ditukar oleh orang Rimba ditinggalkan di pinggir sungai yang diketahui pedagang yang melewati daerah itu. Pada waktu pedagang lewat, ia menaruh barangnya yang ingin ditukar dan sehabis itu ia akan kembali lagi. Orang Rimba kembali ke daerah penukaran sehabis pedagang tak ada disana dan menentukan yang diinginkan dari barang yang dimiliki pedagang. Mereka menaruh barang hasil hutan mereka yang berdasarkan mereka setara dengan barang dari pedagang yang mereka pilih. Pedagang atau orang Terang kembali dan mengambil atau merubah yang ia ingin ditukar. Proses itu diulangi hingga kedua pihak puas tanpa komunikasi visual. Pada hasilnya proses penukaran selesai dan orang Rimba mengambil barang yang ditawarkan oleh orang Terang dan kemudian bersembunyi dan masuk ke hutan.

Secara tradisional intinya kebutuhan kuliner pokok dan kebutuhan lain dipenuhi oleh hutan. Gaya hidup tradisional terdiri dari berburu dan meramu (hunting and gathering). Di hutan mereka meramu buah-buahan, ubi, binatang kecil, kayu, dan damar yang pada umumnya, tetapi tidak selalu, dilakukan oleh kaum perempuan. Kaum pria memburu binatang di hutan dan membuka hutan untuk ladang. Kaum pria menebang pohon dan kaum wanita memotong tumbuhan kecil. Pada umumnya mereka menggunakan uang hanya dengan orang luar (terang). Memburu binatang besar dilakukan oleh pria dan teladan berburu bergantung pada musim. Ada 3 jenis babi yang ditangkap, babi hutan (Sus vitatur), babi jengkot (sus barbatus) atau babi biasa (sus scrofa). Diburu juga rusa (Cervus equimus) dan kijang (Cervulus muntjac). Menangkap burung menyerupai tiung (Gracula relegiosa) elang (Haliastur Indus) dan gagak (Corvus macroynchus) serta, bajing atau poso (Lariscus insgnis) dan lain-lain.

Kaum pria mempunyai hak untuk berburu. Kaum perempuan, pada umumnya isterinya, mempunyai hak untuk membagi yang diburu atau ditangkap oleh seorang laki-laki. Waktu mereka mencari kuliner sendiri atau dengan keluarganya di sungai mereka menangkap harto sendiri, menyerupai siput, belut atau ikan dan beberapa jenis burung. Kadang-kadang belum dewasa menangkap kelewar (kelelawor) kecil, sebagai kuliner jajanan. Kalong besar keleluang atau kalong yang memakan serangga, beyut juga ditangkap dan bahwasanya sumber protein penting. Disamping berburu, wanita dan pria meramu ubi dan buah-buahan. Mencari ubi memakan banyak waktu, tetapi berdasarkan informan rasa ubi liar lebih yummy dibandingkan ubi ladang. Beberapa ubi diambil dari hutan, menyerupai ubi kulit halus benor licin yang ukuran besarnya hingga 40-50mm tebal dan hingga beberapa meter panjangnya. Mereka harus menggali hingga kedalaman satu meter. Ubi rambat, benor bobulu yang dalamnya hingga setegah meter dengan bobot ubi sekitar 30-40 kg.

Disamping itu, sebagaimana layaknya sebuah suku maka suku rimba pun mempunyai beberapa aturan dan kebiasaan tak tertulis yang masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya menyerupai untuk buang air kecil atau air besar biasanya di lakukan di daratan dan sangat tidak diperboleh kan untuk membuang hajat tersebut di sungai. Tujuan dari aturan ini sendiri yaitu sebab berdasarkan orang rimba dengan membuang kotoran di daratan supaya tanah eksklusif dipupuki dan sungai yang dipakai untuk air minum tidak dicemari. Kebiasaan lain dari suku rimba yaitu memelihara anjing - anjing dalam bahasa Rimba disebut dengan konotasi lucu penjilat burit (penjilat pantat) - untuk membantu orang Rimba berburu, dan juga menolong untuk membersihkan pantat anak dan bayi. Beberapa kali diamati anak yang bermain di sungai atau wanita mencuci sarung. Walaupun mereka jarang atau tidak menggunakan sabun, kelompok tersebut kelihatannya tidak menderita duduk kasus kulit atau anyir badan. Menurut kepercayaan orang Rimba menggunakan sabun akan dimarahi oleh dewa-dewi.

Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba sama dengan sistem kekerabatan yang berlaku di Minangkabau yakni sistem matrilineal. dan menyerupai halnya sistem matrilineal di beberapa tempat, di suku Rimba pun mempunyai aturan yang hampir sama dengan di tempat-tempat lain yang menganut sistem ini tak terkecuali dengan sopan santun pernikahannya. Kesamaan perihal kesepakatan nikah itu antara lain yaitu saudara wanita tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara pria dari keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan daerah tinggal. Orang Rimba mengharamkan kesepakatan nikah sedarah (incest). Dan yang unik, dalam aturan sopan santun orang Rimba sangat tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya saja, demikian pula antara adik dengan abang dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba. Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan perjaka pria saling menjaga jarak. Waktu seorang anak pria beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, kalau tertarik kepada seorang gadis, akan menyampaikan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan memberikan keinginan anak mereka kepada orang renta si gadis dan bantu-membantu memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain.

Ada tiga jenis perkawinan, yaitu; pertama dengan mas kawin. Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya pria sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk ia menunjukan dirinya. Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain sanggup ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan pria dan gadis-gadis tersebut. Orang Rimba menganggap kekerabatan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara kandung) atau kekerabatan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan budaya Minangkabau.

Mayoritas kesepakatan nikah yaitu monogami, tetapi ada juga kekerabatan poligami atau lebih sempurna poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, yaitu alasan sosial lain, samping melindungi sumber anak yaitu keinginan untuk memelihara janda atau wanita mandul. Umur cita-cita hidup pria lebih pendek daripada cita-cita hidup wanita dan wanita selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan.

Kepercayaan dan Kosmos Orang Rimba
Menurut salah satu mitos yang di ceritakan orang Rimba, mereka berasal dari Pagaruyung (Minangkabau) dan bersumpah bahwa mereka tidak berkampung, dan tidak makan kuliner binatang yang dipelihara termasuk ayam, bebek, kambing dan sapi. Makanan lain yang haram atau tabu termasuk telur dan susu. Dengan pengalaman hidup di hutan dan pengalaman interaksi terbatas dengan dunia luar, kepercayaan dan kosmologi yang muncul dan unik serta berbeda dari teladan pikir masyarakat umum. Menurut kosmologi orang Rimba waktu mereka pindah ke dusun atau orang Melayu menguasai hutan (imigrasi dan transmigrasi) dianggap sebagai pemusnahan dunia atau kiamat. Pola pikir orang Rimba terkait dengan kata dasar “layu” artinya, menjadi lesu, kehilangan tenaga atau menyerupai bunga yang sudah lewat masa mekarnya dan mati. Sepertinya sudah menjadi sampah. Ada awalan dalam bahasa orang Rimba “me-” yang berarti, memboroskan, melimpah (Sandbukt 1984, 85-98). Arti “Melayu” dalam bahasa Melayu tidak jelas.

Juga harus dijelaskan ada binatang landak yang berjenis besar yaitu landoq (Hysterix brachyma), yang berjenis kecil, yaitu titil bonor (Atherurus macrourus) dan jenis ekor panjang, yaitu titil kelumbi (Trichys lipura). Menurut filosofi orang Melayu pada umumnya, kebanyakan daging dari hutan haram, kecuali satu-dua saja menyerupai landak. Bagi orang Rimba, landak termasuk beberapa jenis binatang lain yang tabu. Pada orang Rimba, kuliner haram berdasarkan orang Melayu yaitu kuliner halal bagi mereka. Sebaliknya, yang tabu untuk orang Rimba sering kali halal bagi orang Melayu. Dewa Silum-on dilihat sebagai kultivator pohon bambu dan juga dilihat sebagai orang “me-layu”, tetapi Dewa tersebut juga sanggup dipanggil untuk melaksanakan kekerabatan dengan Dewa-dewi lain. Dewa Mato merego atau Harimau juga diklasifikasikan sebagai orang me-layu, yang cenderung mengharamkan manusia, termasuk orang Rimba.

Saat orang Rimba mendengar suara burung suci, gading, mereka berhenti dan berdoa supaya mereka sanggup memperoleh hal-hal yang baik. Konsep dunia mereka dibagi halo nio atau dunia disini (dunia nyata) dan halom Dewa atau dunia di atas (dunia sehabis wafat). Kedua dunia tersebut dikontraskan dengan istilah garang dan haluy, atau garang dan halus yang diatur oleh Tuhan. Tuhannya tidak sanggup dilihat menyerupai juga Dewa, tetapi sanggup didengar sebagai suara alam yang keras menyerupai kicau burung. Dewa-dewi berada di hutan, di puncak bukit, daerah air dan di pinggir sungai. Dewa-dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai Dewa yang bermanfaat, Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai, daerah kebanyakan orang Melayu tinggal, dianggap sebagai pembawa hal-hal yang buruk menyerupai penyakit cacar dan pedagang budak.

Peristiwa menyerupai melahirkan anak, pernikahan, menyembuhkan seseorang, animo panen atau animo buah, merupakan kejadian yang dirayakan dan sajian dibentuk untuk menyenangkan Dewa-dewi. Pada waktu tertentu, mereka membangun sebuah balai atau balay, yang berukuran hingga 9 x 9 meter di tengah hutan dengan pondok-pondok sementara di sekitarnya. Balai itu disiapkan untuk sale, suatu ritual dengan nyanyian, tarian, berhiaskan dengan bunga-bunga, menghidangkan makanan, buah-buahan, daging, kecuali babi, ubi dan semacamnya. Hal itu dilakukan supaya kekerabatan dengan Dewa-dewi lebih baik dan bermanfaat bagi orang Rimba. Roh nenek moyang orang Rimba dianggap mengawasi kehidupan, dan sanggup dihubungi pada ketika upacara salé. Jiwa atau roh orang yang meninggal dunia berjalan ke alam baka. Orang yang belum mencapai kehidupan spiritual yang tinggi sebelum meninggal dunia berjalan ke daerah erat Tuhan, hentew, (limbo).

Pemimpin spiritual juga berjalan ke hentew, untuk meninggalkan sifat-sifat duniawi sebelum menuju ke dunia Tuhan serta menjadi malaikat yang sanggup menjadi Dewa kalau menyampai tingkat spiritual yang cukup tinggi. Salah satu kejadian lain yang terkait dengan kosmosnya dikenal dengan istilah melangun atau berpindah-pindah. Peristiwa itu terjadi kalau mereka merasa kurang puas atau kalau ada orang yang meninggal dunia. Mereka berpindah ke daerah lain supaya sanggup re-group lagi sesuai keinginan mereka serta menghilangkan kesedihan. Orang yang meninggal dunia ditaruh di dalam pondok, di daerah tidur dengan kelambu tertutup.

Di dalam pondok lampu damar dinyalakan, dan disediakan beberapa hal, menyerupai kuliner dan beberapa alat untuk berburu. Anjing milik orang yang meninggal diikat di dekatnya dan kelompok memberi tanda arah daerah baru, supaya orang yang berdiri lagi dari kematiannya sanggup ikut melangun bersama anjingnya. Sebelum orang luar, termasuk orang Rimba yang mau kembali ke daerah orisinil diijinkan oleh Temenggung, mereka perlu menyiapkan diri. Proses itu memakan waktu minimal selama 3 bulan. Orang yang mau masuk wajib membersihkan diri, artinya tidak boleh makan kuliner yang tabu, menyerupai kambing, ayam, bebek, sapi dan telur atau menggunakan sabun yang harumnya akan menghina Dewa-dewi mereka. Menurut informan orang Rimba, mereka merasa takut melawan orang luar yang membawa senjata tajam. Alasannya, orang Rimba sudah mengalami kekalahan dan menyadari bahwa mereka diharamkan oleh orang luar. Persepsi orang Rimba terhadap kelanjutan penggunaan (sustainable) hutan sudah dimiliki semenjak waktu lampau.

*****
P.S. Artikel ini dirangkum dari desertasinya Johan Weintré yang berjudul: ORGANISASI SOSIAL DAN KEBUDAYAAN KELOMPOK MINORITAS INDONESIA: Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden)

Previous
Next Post »

Post a Comment