Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Friday, June 21, 2013

Dipati Ukur Jagoan Pasundan

Di kota Bandung ada sebuah jalan yang tak saya temukan di tempat lain yakni Jalan Dipati Ukur. Saya pun bertanya-tanya siapakah gerangan Dipati Ukur ini? Seorang jagoan lokal layaknya Jalan Samadikun di Cirebon atau hanya nama dari tokoh legenda menyerupai Sangkuriang. Membuat penasaran. Ketika saya bertanya ke Google pun hasilnya sama saja, malah bertambah resah lantaran ternyata kisah Dipati Ukur terlalu banyak versinya. Bahkan dari banyaknya versi itu untuk menentukan di mana Dipati Ukur ini wafat dan dimakamkan pun sangat bias. Ada sumber yang menyampaikan kalau makam Raden Dipati Ukur itu di Kabuyutan, erat jembatan kereta api, antara Soreang - Ciweday. Sumber lain menyampaikan kalau Dipati Ukur yaitu seorang Dipati yang berperang melawan Mataram, tertangkap di Gunung Rakutuk (tempat di mana Kartosuwiryo gembong DI/TII tertangkap) erat pengalengan. Makamnya di Baleendah (dulu berjulukan Pabuntelan). Dan versi lainnya yang saya temukan yaitu bahwa dikala Dipati Ukur bentrok dengan Mataram, dia tertangkap di Gunung Lumbung, erat Pengalengan, kemudian dibawa ke Mataram dan dieksekusi mati di alun-alun Mataram. Makin bingung.

Tapi dari dongeng di atas terang Dipati Ukur merupakan orang besar yang lantaran misterinya menciptakan dia menjadi semacam mitos dan legenda tanpa kejelasan sejarah. Tapi, berdasarkan salah atu sumber, penyebab dari tak ada kejelasan sejarah mengenai Dipati Ukur tersebab lantaran pada waktu itu Dipati Ukur merupakan salah satu orang yang paling dicari oleh Mataram yang oleh karenanya rakyat menjadi takut untuk menceritakan kisah Dipati Ukur seutuhnya. Kisah itu pun menjadi terpenggal-penggal dan banyak versi menyerupai halnya puzzle yang terberai. 

Meskipun begitu, tak berarti mencari kejelasan sejarah dan kisah Dipati Ukur menjadi buntu karenanya. Ada beberapa disertasi yang sanggup dijadikan tolak ukur untuk mencari kejelasan kisah bahu-membahu dari Dipati Ukur ini. Dan lantaran disertasi merupakan karya ilmiah yang keakuratan datanya didapat dari banyak sekali penelitian sekaligus fakta-fakta sejarah yang sanggup dipertanggungjawabkan maka saya lebih menentukan disertasi tersebut sebagai sumber goresan pena dari kisah Dipati Ukur ini sekarang. Disertasi itu antara lain disertasi milik Edi S. Ekajati (Carita Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda), disertasi Emuch Herman Sumantri (Sejarah Sukapura, Sebuah Telaah Filologis) dan hasil penelitian dari Atja, Saleh Danasasmita dan Ayat Rohaedi dari Naskah Pangeran Wangsakerta (Nagara Kerta Bumi 1.5). Dari ketiga sumber itulah saya akan menceritakan wacana Dipati Ukur itu di sini.

Pengaruh Mataram di Tatar Sunda
Sebelum lebih jauh bercerita wacana Dipati Ukur ada baiknya kalau saya menyertakan terlebih dahulu wacana fakta sejarah yang menyertainya yakni kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh merupakan sebuah kerajan di bawah naungan Tarumanegara yang didirikan pada tahun 612 oleh Wretikandayun dan berhasil ditaklukan oleh kerajaan Islam Cirebon pada tahun 1528. Cerita lengkapnya sendiri yaitu bahwa pada tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau yaitu putra dari Sultan Huda di Samudera Pasai. Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan. Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, oleh Sultan Trenggono, Faletehan diberi kiprah untuk mengembangkan Islam di kawasan Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon membantu Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Gabungan prajurit Demak dan Cirebon jadinya pada tahun 1526 menguasai Banten. Kemudian Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun sanggup dikuasai pada tahun 1527, Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529 (panglima perangnya waktu itu yaitu Pangeran Walangsungsang). Dan puncaknya yaitu pada tahun 1579 adonan prajurit Demak, Cirebon dan Banten ini jadinya sanggup meruntuhkan sentra kerajaan Sunda Pakuan. Dari beberapa kerajaan penting di tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan Gabungan itulah jadinya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk menguasai tatar Sunda. 

Pada tahun 30 Mei 1619, VOC tiba ke Jakarta yang waktu itu berjulukan Batavia untuk mendirikan kongsi dagang di sana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju pesat lantaran VOC menerapkan sistem monopoli pada wilayah dagangnya bahkan hingga ke wilayah dagang di kawasan kekuasan Mataram. Sontak saja Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram lantaran polah tingkah VOC ini menciptakan tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa dirugikan oleh rujukan tingkah VOC, Mataram pada tahun 1628 tetapkan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali di tahun 1629 tetap gagal.

Pemberontakan Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, tiba utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat kiprah dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, sesudah seminggu dinantikan ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung tiba sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun tetapkan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu sumbangan pasukan dari Jawa. Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa tiba ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung lantaran merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.. 

Ditengah kekalutan itu, tiba utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.

Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang tetapkan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang murka dengan kelakuan para utusan mataram itu sesampainya di Pabuntelan pribadi menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.

Dalam ‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu tabiat Sultan Agung yaitu jikalau memberi kiprah kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dieksekusi mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun semoga terhindar dari sanksi mati mengaranglah ia wacana kenapa pasukan Mataram sanggup gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke bahu Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka lantaran bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram yaitu lantaran mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, lantaran Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dieksekusi mati. Aklhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin pribadi oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram. 

Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya semenjak kini harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang baiklah menyerupai Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak baiklah itu yaitu Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta. 

Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten berdikari yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba elok Sutaputra, salah satu cowok yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu tiba untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (adikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras jadinya Dipati Ukur pun sanggup diringkus kemudian di bawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun jadinya di aturan mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.

Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih menentukan memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di kawasan Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada jadinya hingga kini Karawang populer dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.

Previous
Next Post »

Post a Comment