Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Tuesday, June 11, 2013

Makan Patita, Tradisi Makan Bersama Rakyat Maluku

Makan Patita, kata ini niscaya tidak aneh di indera pendengaran orang Maluku, alasannya ialah pada hari-hari tertentu yang di anggap penting orang Maluku kerap menggelar budaya Makan Patita ini. Esensinya Makan Patita sendiri merupakan sebuah program makan bersama dalam lingkup kekeluargaan yang hangat dengan menyuguhkan banyak sekali kuliner dan masakan tradisional khas kawasan mereka. Siapa pun yang hadir dalam program Makan Patita itu boleh merasakan segala kuliner yang tersedia di situ dengan sesuka hatinya. Tradisi makan patita hingga ketika ini masih terus dipelihara di kota dan di desa-desa di Provinsi Maluku. Desa Oma yang terletak di Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku juga masih berpengaruh memegang tradisi budaya patita. 

Secara garis besar tradisi Makan Patita di Provinsi Maluku digelar dua kali dalam setahun yaitu makan patita negeri yang dilakukan setiap tanggal 2 Januari dan makan patita yang dilaksanakan setiap bulan Desember. Tapi, disamping tradisi rutin tiap yahun itu, di beberapa kawasan di kota Ambon ibarat di Desa Oma mempunyai satu lagi tradisi makan patita yakni makan patita etika yang di gelar dan dilaksanakan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Bisa setahun sekali, lima tahun sekali, bahkan sanggup juga hingga 12 tahun sekali. Makan patita etika itu dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh empat fatwa keturunan yang dalam bahasa etika Maluku disebut soa, yaitu Soa Pari, Soa Latuei, Soa Tuni dan Soa Raja. Masing-masing soa memilih sendiri waktu pelaksanaan makan patita adat, dan penentuan waktu biasanya terjadi ketika program berbalas pantun di meja patita adat. 

Setiap soa yang ada di Desa Oma merupakan kumpulan marga. Soa Pari merupakan kumpulan marga Kaihatu, Sekewael dan Ririasa. Soa Latuei merupakan kumpulan marga Uneputty, Patiata, Tohatta, Lesirollo dan Manusiwa. Soa Tuni merupakan kumpulan marga Haumahu, Hukom dan Wattimena, sedangkan Soa Raja terdiri dari marga Pattinama, Suripatty dan Patty. Ada juga dua marga dari Desa Oma yaitu Pattikawa dan Hetharia yang tidak mengikatkan diri ke dalam empat soa tersebut, namun mereka juga melaksanakan kebiasaan ibarat empat soa yang lain.

Tradisi Makan Patita Adat di Desa Oma sendiri terbagi menjadi dua yaitu makan patita Marei yaitu yaitu om-om memberi makan belum dewasa dalam Soa Latuei yang dikenal dengan nama Marei. Om-om yang dimaksudkan ialah orang tua. Dan yang kedua ialah kebalikan dari itu yakni belum dewasa yang memberi makan kepada orang tua. Jadi, pada makan patita etika Marei ini seluruh kuliner hingga pelaksanaan acaranya ditanggung oleh para orang tua. Nanti suatu ketika belum dewasa juga boleh menggelar makan patita etika serupa untuk menjamu orang bau tanah mereka. Tidak tanggung-tanggung, mereka menggelar makan patita etika di atas meja yang panjangnya mencapai 200 meter dan dipenuhi ribuan anak etika Soa Latuei. Makan patita etika ini merupakan yang terbesar dalam sejarah etika di Desa Oma.

Sebelum hingga ke puncak pelaksanaan makan patita adat, ada prosesi etika yang dilakukan oleh warga Soa Latuei di Baileo Kotayasa. Malam sebelumnya telah dilakukan serangkaian program persiapan yang merupakan kewajiban dari lima orang yang ditunjuk sebagai Kepala Soa yang dinamakan Bapak Lima-Lima. Dalam prosesi itu, mereka menciptakan pergumulan dan doa yang menjadi sebuah persiapan. Semuanya berlangsung di dalam Baileo Kotayasa. Dalam prosesi persiapan tersebut ada simbol-simbol yang disertakan ibarat tempat sirih sebagai simbol pengikat kekerabatan kekeluargaan dan sebotol minuman keras sopi sebagai simbol pembangkit semangat.

Setelah prosesi malam itu, keesokan harinya seluruh anak etika Soa Latuei semenjak pagi sudah mulai melaksanakan persiapan. Di tiap rumah warga Soa Latuei terlihat kesibukan memasak. Di sentra desa pun telah digelar meja sepanjang 200 meter dan ditutupi kain putih yang melambangkan kesucian. Kendati sempat diguyur hujan namun hal itu tidak menyurutkan semangat belum dewasa Soa Latuei untuk menyiapkan makan patita adat. 

Tepat pukul 15.00 WIT para orang bau tanah dari Soa Latuei yang mengenakan busana khas kebaya merah berkumpul di dalam Baileo. Sejumlah anak muda berpakaian hitam-hitam dan ikat kepala merah menyuguhkan tarian cakalele. Sambil menghunus bendo dan salawaku mereka berteriak penuh semangat ibarat akan ke medan perang. Usai menari, para orang bau tanah kemudian pergi menuju ke mata rumah bau tanah belum dewasa Marei yakni mata rumah Huapea dengan iringan tifa untuk meminta belum dewasa Marei tiba ke lokasi makan patita adat. Iring-iringan warga Soa Latuei yang diiiringi tifa serta teriakan para penari cakalele juga menarik perhatian warga Desa Oma yang bukan berasal dari Soa Latuei.

Di mata rumah Huapea, sesudah menjemput belum dewasa Marei maka para orang bau tanah pun kembali bantu-membantu ke Baileo Kotayasa guna melaksanakan doa bersama, kemudian berjalan secara teratur menuju meja makan yang terletak di sentra Desa Oma. Semua anak etika Soa Latuei mulai dari orang bau tanah hingga balita pun mengenakan busana etika soa Latuei. Di atas meja Makan telah tersedia banyak sekali macam kuliner yang diubahsuaikan dengan kebiasaan turunan Soa Latuei yang rata-rata berprofesi sebagai pemburu.

Di kepala meja terdapat lima kepala babi yang kemudian dibagikan kepada lima marga anggota Soa Latuei. Makanan yang dihidangkan di antaranya nasi kuning dan nasi kelapa yang diatur rapih pada setiap piring. Ada lauk pauknya ibarat daging, ikan dan sayur. Terdapat pula kue-kue khas Desa Oma. Akhirnya melaksanakan doa bersama, para Marei pun mulai merasakan kuliner yang diberikan om-om mereka. Setelah simpulan makan bersama maka artinya selesailah rangkaian etika makan Patita ini. 

Previous
Next Post »

Post a Comment