Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Wednesday, June 12, 2013

Upacara Karo Suku Tengger

Di Jawa Timur tepatnya di Gunung Bromo Probolingga hidup dan berkembang sebuah susila yang sangat tersohor dan tetap dilestarikan sampai sekarang yakni upacara Karo; sebuah upacara hari raya terbesar masyarakat Tengger yang konon masih mempunyai darah keturunan dengan kerajaan Majapahit. Oleh lantaran itu, lantaran masih mempunyai korelasi darah dengan kerajaan Majapahit inilah agama yang dianut oleh hampir keseluruhan masyarakat Tengger ini ialah Hindu Majapahit. Maka dari itu sebagaimana halnya kebudayaan dari Hindu Majapahit pada umumnya, di wilayah Tengger ini pun di percaya sebagai Hila-hila, yang dalam bahasa Tengger berarti tanah yang suci. Masyarakat susila Tengger sendiri paling tidak mempunyai 6 ritual susila dalam setahunnya untuk memperlihatkan pemujaan kepada Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati roh leluhur sekaligus meminta berkah dan keselamatan. Dan yang terbesar dan tersohor dari keenam upacara susila itu diantaranya ialah Ritual Adat Karo itu sendiri yang akan saya bahas dalam kesempatan kali ini.

Ritual upacara Adat Karo sendiri dipimpin oleh beberapa Ratu yang telah ditunjuk oleh mereka. Kata Ratu sendiri di mata masyarakat Tengger berarti pemimpin dan sama sekali tidak berkonotasi perempuan. Makara Ratu dalam hal ini ialah pemimpin yang bisa saja berkelamin laki-laki. Ritual karo sendiri dibuka dengan pertemuan kedua orang Ratu dalam sebuah daerah yang nantinya akan digunakan sebagai daerah berlangsungnya upacara. Pertemuan kedua ratu ini menjadi tanda dimulainya Upacara Sodoran, salah satu cuilan dari rangkaian Karo. Perjumpaan tersebut melambangkan bersatunya roh leluhur, cikal bakal manusia, yakni pria dan perempuan.

Sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki daerah tersebut. Dalam ritual ini yang boleh mengikuti jalannya upacara hanya kaum pria saja dan kaum wanita sama sekali tidak diperbolehkan mengikutinya. Dan sehabis semua hadirin dipastikan telah hadir semua maka upacara ini pun dibuka dengan pembacaan mantera yang dilakukan oleh kedua Ratu mereka untuk mensucikan daerah dimana upacara itu berlangsung. Setelah itu barulah diadakan upacara memandikan Jimat Kelontongan diiringi dengan tarian sodor. Jimat kelontongan sendiri merupakan sekumpulan benda keramat. Sedangkan tarian sodor ialah sebuah tarian yang dilakukan oleh 4 orang secara bergiliran (dari semula hanya satu penari kemudian secara simultan bertambah sampai kemudian genap menjadi 4 penari dan saling berpasangan satu sama lain) yang melambangkan pertambahan generasi masyarakat Karo dari waktu ke waktu.

Sementara upacara sodoran ini hampir usai di luar kaum ibu-ibu beserta anak mereka pun mulai berdatangan sambil membawa makanan buat suami dan ayah mereka yang sedang melaksanakan upacara sodoran. Mungkin inilah alasan kenapa selama berlangsungnya program sodoran ini kaum wanita tidak diperbolehkan ikut, lantaran mereka harus menyiapkan makanan yang akan disantap oleh suami dan ayah mereka seusai upacara selesai. 

Pada sore harinya secara marathon upacara sodoran ini pun dilanjutkan dengan upacara tumpeng gede untuk mengungkapkan perasaan syukur mereka dangan hasil panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur. Tumpeng-tumpeng ini dikumpulkan dari warga, kemudian dimantrakan oleh dukun susila desa setempat. Tumpeng yang sudah dimantrai, dibagi-bagikan kepada warga untuk digunakan dalam ritual selanjutnya, Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah yang diyakini masyarakat Tengger sebagai Puncak Karo.

Begitu upacara tumpeng gedhe selesai pada keesokan harinya warga pun menggelar upacara Sesandingan di rumah masing-masing yang bertujuan untuk memperlihatkan makanan atau dedaharan kepada leluhur mereka. Yang unik dari upacara ini ialah upacara itu harus dipimpin oleh dukun susila mereka masing-masing yang dalam satu desa atau Hila-hila biasanya hanya terdapat satu dukun susila saja. Bayangkan, ang dukun harus mendatangi rumah warganya satu persatu untuk memimpin upacara tersebut. Maka dari itu tak heran kiranya kalau satu dukun dalam masyarakat Tengger dalam upacara ini harus berkeliling mendatangi rumah warganya satu persatu memakan waktu sampai 15 jam nonstop. Padahal tugasnya tidak berhenti pada ritual Sesandingan, tapi berlanjut sampai selesai program Karo. Yang perlu anda tahu, untuk menjadi dukun susila ini seseorang setidaknya harus menghafal sekitar 90 cuilan mantra, yang berbahasa Jawa Kuno. Mungkin itulah sebabnya, sosok dukun susila yang begitu sentral kiprahnya dalam masyarakat Tengger tak banyak yang bisa melakoninya. 

Baru sehabis program puncak sesandingan selesai, pada hari keempat dan kelima masyarakat Tengger berkeliling kampung untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat mereka layaknya hari lebaran pada agama-agama lainnya berikut sowan ke kuburan untuk nyekar kepada makam leluhur dan anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Berziarah ke makam leluhur atau nyadran, ialah cuilan dari ritual Karo yang dilakukan sehari sebelum ritual penutup, yakni hari ke-6. Makam pertama yang didatangi ialah makam kramat Sang Eyang Guru.Masyarakat Tengger percaya, doa dan keinginan mereka akan dikabulkan, bila rajin memperlihatkan sesajian kepada Sang Guru.Yang menarik dalam ritual tersebut adalah, ketika dukun susila melemparkan uang logam dan ayam yang telah dimanterakan sebelumnya, untuk diperebutkan belum dewasa dan remaja.

Dari makam Sang Guru, nyadran kemudian dilanjutkan ke makam keluarga. Ini bukanlah agresi gaya-gayaan warga Tengger. Ini ialah atraksi tarian Ujung-ujungan, yang mengawali rangkaian penutupan upacara Karo pada hari ketujuh. Disebut Ujung-ujungan lantaran para penari yang bertelanjang dada, secara bergantian memukul lawannya, memakai ujung rotan. Tarian ini sendiri merupakan ungkapan rasa syukur mereka dikarenakan telah berhasil dan lancar melaksanakan upacara Karo, oleh akhirnya tak ada istilah kalah dan menang dalam kegiatan ini. Semuanya saling pukul dan begitu permainan usai tak ada dendam sama sekali di hati mereka meski tubuh harus wilur-wilur perih lantaran pukulan rotan sang lawan. 

Kemudian menjelang Magrib, sebagai penanda selesainya rangkaian upacara Karo warga berduyun-duyun mendatangi rumah dukun susila membawa kemenyan untuk dimantrakan oleh sang dukun adat. Kemenyan ini sendiri nantinya akan digunakan oleh keluarga masing-masing dalam upacara memulangkan arwah leluhur. Dengan ritual pemulangan roh leluhur atau biasa dikenal dengan istilah Mulehi Ping Pitu tersebut, maka rangkaian upacara Karo pun berakhir sudah.

Previous
Next Post »

Post a Comment