Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Tuesday, June 11, 2013

Wayang Thithi, Perkawinan Dua Budaya

Wayang kulit Cina - Jawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wayang Thithi mulai dikenal di Yogyakarta pada tahun 1925 hingga sekitar tahun 1967. Istilah thithi sendiri didapat dari bunyi alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang biasa mengiringi setiap pertunjukan wayang kulit China yang kalau dipukul akan mengeluarkan bunyi thek…thek…thek.. Suatu bunyi yang terdengar di indera pendengaran orang Jawa sebagai thi… thi… thi… Untuk lakon sendiri, berbeda dengan wayang kulit Jawa yang selalu mengangkat lakon dari dua epos populer yakni Ramayana dan Mahabarata maka untuk wayang thithi ini lakon atau dongeng yang dimainkan ialah mitos dan legenda negeri Tiongkok menyerupai San Pek Eng Tay, Sam Kok, Thig Jing Nga Ha Ping She, dan sebagainya. 

Dan lantaran wayang thithi merupakan sebuah kesenian budaya hasil akulturasi dari kebudayaan China dan Jawa maka tokoh-tokoh yang terdapat dalam lakon wayng thithi inipun perpaduan dari dua kebudayaan ini yaitu nama-nama para tokoh lakon, negara, kerajaan, kadipaten, kahyangan, dan lain-lainnya ditulis berdasarkan nama-nama aslinya (Hokkian), akan tetapi istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain, sebagian besar mempergunakan istilah-istilah Jawa menyerupai : narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumenggung, senapati, pandhita, brahmana, radhyan, dyah, abdi, prajurit dan sebagainya. Dan lantaran contoh yang di ambil oleh wayang thithi ini ialah contoh pedalangan wayang purwa maka baik janturan, suluk maupun kandha, seluruhnya memakai idiom-idiom pedalangan jawa, pun begitu dengan prosesi yang harus dilakukan sang dalang sebelum memulai pertunjukkan wayang thithi menyerupai dalang harus mengucapkan mantra sebelum memulai pertunjukan. Selain itu, sang dalang juga harus menguasai gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa, menguasai cerita, menguasai bahasa Jawa dan sebagainya.

Buku-buku lakon wayang thithi yang hingga dikala ini masih sanggup dijumpai ialah milik koleksi langsung Dr. F. Seltmann di Stuttgart, yang dijual kepada Staatsbibliothek zu di Berlin pada tahun 1995. Naskah-naskah ini dibeli oleh Dr. F. Seltmann ketika ia tinggal di Yogyakarta selama 1 tahun (1964-1965?) dari Gan Thwan Sing (1885-1966). Pembelian naskah-naskah ini melengkapi pembelian satu kotak wayang Cina-Jawa milik Gan Thwan Sing. Teks wayang Cina-Jawa Yogyakarta merupakan teks lakon pergelaran wayang. Cerita-ceritanya ditulis dalam bentuk prosa, berbahasa dan beraksara Jawa. Keunikan naskah ini terletak pada huruf Jawa yang diciptakan oleh Gan Thwan Sing untuk menuliskan nama-nama tokoh Cina, bahasa, huruf dan kisahnya. Naskah lainnya terdapat di beberapa kawasan termasuk di rumah warga keturunan dalang wayang thithi itu sendiri. 

Secara garis besar lakon yang di tulis dalam bahasa dan huruf Jawa ini diawali dengan lokasi adegan menyerupai di kerajaan, khayangan dan sebagainya. Kemudian barulah dilanjutkan dengan nama-nama tokoh wayang yang terdapat dalam lakon tersebut, dan diakhiri dengan uraian kisahnya. Tata cara pertunjukan wayang Thithi ini secara umum tidak berbeda dengan wayang kulit purwa, yang terbagi dalam tiga pembabakan. Yaitu : 


  • Babak awal, pertunjukan diiringi dengan gendhing-gendhing pathet nem.
  • Babak pertengahan, dalang memberi aba-aba kepada para pemusik (niyaga) biar sejenak membunyikan gendhing lindur dan disusul dengan gendhing pathet sanga.
  • Babak akhir, pertunjukan diiringi dengan gendhing pathet manyura. Sebagai penutup, iringan musik gamelan menyajikan gendhing ayak-ayakan pamungkas.


Hanya saja, berbeda dengan wayang kulit purwa, yang mempunyai adegan dagelan (punakawan : Semar, Gareng, Petruk, Bagong), pada mulanya dalam pertunjukan wayang Thithi ini tidak dikenal adegan tersebut. Hal ini disebabkan lantaran tradisi Cina memang tidak mengenal tokoh-tokoh punakawan. Sebagai gantinya, GTS menghentikan jalannya pertunjukan untuk memberi waktu istirahat sang dalang. Masa istirahat ini ditandai dengan ditancapkannya seorang tokoh berbusana petugas keamanan membawa papan pengumuman yang memuat goresan pena berbahasa Melayu, beraksara Latin : “Istirahat 10 menit” meski pada perkembangan selanjutnya, Gan Thwan Sing, salah satu tokoh pedalangan wayang thithi membuat tokoh-tokoh menyerupai punakawan, yang diberi busana dan tata rambut bercorak Cina klasik, kecuali Semar. Tokoh Semar sengaja tidak diciptakan lantaran Gan Thwan Sing memahami makna tokoh Semar bagi orang Jawa. Tokoh Semar ialah lambang kemuliaan bagi orang Jawa. Untuk mengiringi pertunjukan wayang ini, maka digunakanlah musik gamelan menyerupai halnya wayang kulit purwa. Biasanya dipakai seperangkat gamelan dengan tangga nada slendro dan pelog. Perihal tembang atau gending-gending yang mengiringi wayang ini masih diharapkan penelitian tersendiri yang berkaitan dengan rekonstruksi pertunjukan wayang kulit Cina-Jawa.

Previous
Next Post »

Post a Comment