Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Wednesday, July 16, 2014

Kearifan Lokal Masyarakat Ciomas Dalam Melestarikan Hutan

KEHIDUPAN dan gaya hidup modern adakalanya menciptakan insan menjadi tidak lagi peka terhadap lingkungannya. Segalanya melulu wacana bergegas dan mengejar. Kendaraan bermotor dengan aneka macam jenis dan brand sekarang semakin menyesaki jalanan sebagai upaya untuk berlomba dengan waktu. Dan tentu saja konsekwensi logis dari keadaan ini yakni bahwa oksigen disekitar menjadi tak lagi nyaman untuk dihirup, suhu menjadi lebih panas dari sebelumnya, dan keadaan kian terasa bising. 

Tentu saja, insan tak harus kembali ke zaman Flinstone jikalau ingin menikmati bumi yang nyaman untuk ditinggali. Ini keniscayaan yang harus dihadapi dan akan terlalu naïf jikalau kita membayangkan sebuah dunia tanpa kendaraan bermotor sama sekali. Kita hanya perlu sedikit peduli terhadap lingkungan sebagai keseimbangan atas apa yang kita lakukan selama ini. Dan salah satu yang fundamental dari semuanya yakni dengan pelestarian hutan. Hutan yakni sebuah tempat di mana terdapat sekumpulan tumbuhan dan fauna bermukim. Dari salanah berton-ton oksigen diproduksi guna dikonsumsi oleh insan tiap harinya. Tidak hanya itu, berdasarkan beberapa mahir konon untuk satu hektar hutan sanggup menyimpan sekitar 900 meter kubik air tanah tiap tahunnya, sanggup mentransfer air sekitar 4000 liter per harinya, bisa menurunkan suhu sekitar 5 hingga 8 derajat celcius dan meredam kebisingan antara 30 hingga 80 persen. Dan yang paling relevan dengan keadaan kita ketika ini yakni bahwa pepohonan tersebut bisa menetralkan polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor (C02 dan H2O) melalui O2 yang mereka hasilkan. 

Kita punya banyak rujukan yang bisa di gunakan untuk upaya menyayangi hutan. Tak perlulah kita melongok ke negara lain bagaimana mereka menjaga hutan-hutannya. Kita hanya perlu sedikit kembali menengok kepada budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang kita untuk benar-benar peduli dengan hutan. Hampir di semua daerah di Indonesia mempunyai kearifan lokal dalam hal menjaga kelestarian hutan ini. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, berdasarkan data statistik kependudukan tahun 2010 sekira 78 persennya tinggal di wilayah pedesaan dan rata-rata berada di sekitar wilayah hutan. Masyarakat yang dekat dengan daerah hutan ini tak perlu diragukan lagi, bahwa mereka pada umumnya mempunyai kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan lokal dalam hal pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya, yang dalam hal ini dikembangkan secara turun temurun.

Dan sebab pengetahuan akan pelestarian hutan dari pola-pola yang berkembang pada kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan mereka selama berinteraksi secara simultan dengan lingkungan sekitarnya (pengamatan dan pengalaman), maka tentu saja pola-pola yang terdapat dalam kearifan lokal ini pun bisa jadi akan berbeda-beda di tiap daerah meski dengan tujuan yang sama. 

Salah satu kearifan lokal dalam hal menjaga kelestarian hutan yang menciptakan penulis terkesan yakni adat yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Ciomas, Ciamis, Jawa Barat. Desa Ciomas yang secara geografis berada di Kaki gunung Sawal (1764 mdpl) ini mempunyai satu adat budaya yang begitu sistematis dan terprogram yang berkaitan dengan pelestarian hutan.

Masyarakat di Desa ini mempunyai satu kearifan lokal warisan nenek moyang mereka mengenai pelestarian lingkungan yang hingga ketika ini masih dengan teguh mereka jaga. Salah satunya yakni dengan masih menetapkannya Leuweung Larangan (hutan larangan) di daerah Gunung Sawal sebagai tempat yang harus betul-betul dijaga kelestariannya.

Di samping itu, ada pula beberapa tahapan dalam adat masyarakat Ciomas yang mengedepankan pola-pola sistematis dan sedikit demi sedikit dalam hal pelestarian hutan di lingkungan mereka. Tahapan adat itu terbagi dalam tiga tahap yang begitu sistematis dan penuh perhitungan. Inilah tahap-tahap dalam adat Masyarakat Ciomas dalam hal menjaga lingkungan hutan semoga tetap lestari:

1. Kabarataan
Kabarataan yakni sebuah adat yang mengedepankan pada analisis yang mendalam terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang terdapat dalam tata wilayah mereka. Dalam adat Kabarataan ini mencakup menghitung aneka macam kerusakan hutan, memutuskan waktu pemulihan kerusakan tersebut (Tata Wayah) dan juga rancangan kerja wacana apa-apa saja yang harus dilakukan untuk memulihkan kerusakan (Tata Lampah). Tidak hanya itu, dalam adat Kabarataan ini juga diadakan upacara penanaman pohon panayogian atau penanda yang disebut dengan nama Ki Pasang, mengingat pohon yang di tanam yakni dua jenis pohon yang sama dan berdampingan. Dalam prosesi adat menanam pohon panayogian biasanya dilakukan pada simpulan menjelang rangkaian adat Kabarataan berakhir. Yang menciptakan saya terkesan adalah, untuk pohon yang di tanam dalam Panayogian ini masyarakat adat mewajibkan untuk hanya menanam jenis pohon yang tumbuh di wilayah itu dan sama sekali tidak dibolehkan untuk menanam pohon yang berasal dari luar daerah tersebut. Hal itu tentu saja dilakukan bukan dengan tanpa alasan sama sekali.

Tujuan utama dari penanaman pohon yang harus dari wilayah tersebut dengan perhitungan bahwa adaftasi sebuah tumbuhan dengan tanah dan lingkungan gres adakalanya memakan proses yang tidak selamanya berjalan mulus. Jika pohon yang ditanam merupakan tumbuhan orisinil dari wilayah tersebut maka diharapkan proses pembiasaan dan pertumbuhan dari sang pohon yang gres di tanam bisa lebih gampang dilalui.

2. Kadewaan
Untuk tahapan berikutnya sehabis prosesi adat Kabarataan berakhir maka dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya yakni melakukan adat Kadewaan. Kadewaan sendiri pada prinsipnya yakni awal dimulainya proses pemulihan hutan dan lingkungan termasuk mata air, sungai, dan aneka tumbuhan di sekitar wilayah tersebut yang pada ketika adat Kabarataan dianggap sudah waktunya dipulihkan dari kerusakan-kerusakan. Maka, jikalau dalam adat Kabarataan yakni berupa analisis yang mendalam untuk mendeteksi kerusakan-kerusakan lingkungan berikut dengan pola-pola apa saja yang akan diambil dalam upaya penyembuhan lingkungan yang rusak tersebut, maka dalam adat Kadewaan ini yakni upaya pelaksanaan dari pemulihan itu sendiri. Dalam Kadewaan ini, masyarakat diwajibkan untuk menanam pohon di tempat-tempat yang dianggap telah rusak. Dan ibarat pada adat Kabarataan, pohon-pohon yang ditanam di sini pun harus berasal dari jenis pohon yang ada di wilayah tersebut. 


3. Karatuan
Untuk tahapan terakhir dari rangkaian adat ini yakni pelaksanaan adat karatuan. Adat Karatuan yakni sebuah proses berkesinambungan antara terus memulihkan lingkungan dan juga menjaga keberlangsungan pemulihan itu sendiri hingga tercapai sebuah tata lingkungan yang benar-benar subur, dekat dan tentu saja bisa diambil keuntungannya oleh penduduk setempat. Maka dari itu, dalam adat karatuan ini sifatnya jangka panjang dan oleh balasannya waktu yang ditetapkan pun adakalanya hingga ratusan tahun.

Dari tahapan-tahapan adat tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa untuk melestarikan hutan tidak selamanya diharapkan biaya yang besar dan peralatan-peralatan mutahir. Semua biaya dan alat-alat mutahir itu tentu juga berkhasiat tapi yang terpenting dari semuanya yakni kesadaran masyarakatnya itu sendiri. Adakalanya biaya besar dengan alat-alat mutahir tak berkhasiat sama sekali jikalau kesadaran masyarakatnya untuk menyayangi lingkungan tidak ada. Peralatan-peralatan mutahir itu bisa jadi hanya akan jadi rongsokan tiada guna, pun biaya yang besar tak akan menghasilkan apapun selama manusianya sendiri selaku oknum tak mempunyai kesadaran untuk menjaga lingkungannya, sebab menjaga lingkungan yakni sebuah proses yang simultan dan bukan abra kadabra, dan semuanya menjadi kembali ibarat apa yang kita harapkan.

Itu gres satu model pelestarian hutan melalui metode kearifan lokal yang ada di bumi Nusantara ini, sementara kearifan lokal yang mengedepankan pola-pola kecintaan terhadap lingkungan di Indonesia tak bisa kita pungkiri, teramat banyak. Jika saja kearifan lokal-kearifan lokal semacam ini tetap senantiasa lestari di Indonesia tentu menyayangi lingkungan sekitar di Indonesia tak perlu lagi harus dikampanyekan. Lagipula, ketika kearifan lokal-kearifan lokal itu lestari, maka bukan saja lingkungan Indonesia menjadi lebih hijau, tapi juga bisa dijual kepada turis-turis asing maupun lokal sebagai wisata budaya. Ini sektor potensial yang adakalanya luput dari perhatian pemerintah kita. Pun dengan televisi yang sejatinya bisa dijadikan corong sebagai alat kampanye dan promosi gratis adakalanya malah menciptakan program-program yang menyesatkan wacana masyarakat adat yang masih begitu teguh memegang tradisinya. Acara-acara ibarat Primitive Runaway misalnya, bukannya menyorot sesuatu yang lebih penting ibarat betapa kehidupan mereka begitu selaras dengan alam, filosofi-filosofi kehidupan yang adiluhung dan layak digali, dan sebagainya, malah memposisikan kaum adat ini sebagai kaum yang ndeso dengan segala teladan hidupnya yang ajaib, dan para artis selaku bintang tamu diposisikan sebagai manusia-manusia modern yang maha agung dan beradab.

Padahal, untuk beberapa hal, kita semua lebih primitive dari mereka. Mereka mungkin ketinggalan jauh soal teknologi tapi tidak dalam hal lainnya. Kita adakalanya sangat tidak beradab dalam memperlakukan alam. Dan kita layak untuk menggugu dan menjiplak mereka dalam banyak hal wacana bagaimana caranya menyayangi alam. Karena kita hidup di bumi yang sama. Maka, simpulan kata. Mari bergadeng tangan dan saling menghipnotis untuk bumi yang lebih layak untuk ditinggali. 

Previous
Next Post »

Post a Comment