Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Thursday, May 25, 2017

Cerpen Anak Sekolah - Damai Di Ujung Senja

Cerpen Anak Sekolah - Hening di Ujung Senja


Ketika sekolah SD kamu pernah pulang ke kampung dan kita bersama Cerpen Anak Sekolah - Hening di Ujung Senja
cerita-pendek-anak-sekolah" target="_blank">Cerpen Anak Sekolah

Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua?

“Kita sobat bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kamu pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga sanggup kutebak siapa mereka. Ia seolah-olah mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih ibarat dulu,” katanya melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya menciptakan saya agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah budbahasa yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.

“Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kamu si Tunggul?”

“Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.

Lalu ia menyampaikan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. Suatu dikala nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya perihal negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. “Kita sudah sama tua. Mungkin tidak usang lagi kita akan berlalu. Kalau kamu perlu bantuan, saya akan menolongmu.”

“Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.

Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika saya berkunjung ke kampung halaman, kutemukan beliau dengan beberapa kerabat bersahabat lainnya. Kudapati ia terbaring di kawasan tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di hidungnya. Ia bernapas dengan pertolongan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, “Kudengar kamu datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku mustahil berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat.

Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.”

“Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.

***

Rendi selalu tiba dalam mimpi. Diam-diam, kemudian menghilang. Dahulu ia sobat sekantor. Tetapi, sebab mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia hingga ke California. Di negeri penuh impian ini ia memulai kariernya yang baru, bangkit subuh dan mengidari potongan kota, melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan.

Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa sedih sebab kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Tiada mitra untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran dengan waktu. Dari distributor koran subuh, hingga rumah jompo dari siang hingga senja, kemudian pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, hingga waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus kehidupan.

Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari sobat hidup pada usia senja.

Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar toilet. Menemukan mitra itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles tiba telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung isu disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan dimakamkan kerabat bersahabat yang ada di kota “Y”.

Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke kawasan istirah.

Terlalu sering ia tiba di dalam mimpi yang membuatku galau.

***

Beberapa waktu kemudian, saya menerima SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan mencoba membaca isu yang masuk.

Lusiana gres saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.

Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.

Lusiana seorang sekretaris direktur yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, hingga cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada jago waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.

Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap bersahabat pohon yang menaungi makamnya.

Tidak biasa saya berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah sebab anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, menciptakan ia mengambil keputusan libur ke Bali bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti sebab tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, saya duduk di tepi maritim Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.

Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan:

Tan, Ibu Maria gres saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata uang asing.

Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke-67 dikala anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika penguburannya.

Ibu Maria meninggal mendadak.

***

Aku gres saja mendapatkan telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun saya tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat….

Dan tadi pagi, saya teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun bantu-membantu belum hingga ke situ, saya bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku?

Aku tepekur.
Cerpen lainnya => cerita-pendek-anak-sekolah" target="_blank">My Friend My Love

Previous
Next Post »

Post a Comment