Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Saturday, November 17, 2018

Abu Nawas Hadiah Bagi Tebakan Jitu

Scud Story ialah Portal Edukasi yang memuat artikel perihal Hikayat Abu Nawas Hadiah Bagi Tebakan Jitu, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan balasan dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak bisa memberi klarifikasi yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui balasan yang sebenarnya.

Mungkin alasannya amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan semoga Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu usang Abu Nawas dihadapkan. Baginda menyampaikan bahwa akhirakhir ini ia sulit tidur alasannya diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua belakang layar alam.

“Tuanku yang mulia, bergotong-royong belakang layar alam yang manakah yang Paduka maksudkan?” tanya Abu Nawas ingin tahu. “Aku memanggilmu untuk menemukan balasan dari dua teka-teki yang selama ini menarik hati pikiranku.” kata Baginda. “Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba.” “Yang pertama, di manakah bergotong-royong batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?” tanya Baginda. “Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, “Tuanku yang mulia,” lanjut Abu Nawas ‘ketidakterbatasan itu ada alasannya adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu insan tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan bisa mengukur sesuatu yang tidak terbatas.”

Baginda mulai tersenyum alasannya merasa puas mendengar klarifikasi Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

“Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?” “Ikan-ikan di laut.” jawab Abu Nawas dengan tangkas. “Bagaimana kau bisa pribadi tetapkan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?” tanya Baginda heran. “Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seperti tidak pernah berkurang alasannya saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak.” jawab Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu rasa ingin tau yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak. Tidak menyerupai biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun semoga lebih leluasa bergerak.

Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya menyerupai rakyat jelata. Di sebuah perkampungan dia melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang memberikan kuliah perihal alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang tiba dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu. “Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?”

Ulama itu berpikir sejenak lalu ia berkata, “Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kau dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut dikala itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la mencicipi hal semacam itu menyerupai dikala tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seperti tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya ialah dikelilirigi ular-ular. Maka bila persoalan mimpi yang remeh saja sudah tidak bisa mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?”

Baginda Raja terkesan dengan klarifikasi ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya perihal alam akhirat. Dikatakan bahwa di nirwana tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu ialah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di nirwana alasannya barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih elok dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.

Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri “Aku menginginkan engkau kini juga berangkat ke nirwana lalu bawakan saya sebuah mahkota nirwana yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?”

“Sanggup Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas pribadi menyanggupi kiprah yang tidak mungkin dilaksanakan itu. “Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan.” “Sebutkan sarat itu.” kata Baginda Raja. “Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya semoga hamba bisa memasukinya.” “Pintu apa?” tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat.” jawab Abu Nawas. “Apa itu?” tanya Baginda ingin tahu. “Kiamat, wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam memiliki pintu. Pintu alam dunia ialah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah ialah kematian. Dan pintu alam darul abadi ialah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di
surga, maka dunia harus final zaman teriebih dahulu.”

Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam. Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,”Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?” Baginda Raja tidak menjawab. Beliau membisu seribu bahasa, Sejenak lalu Abu Nawas mohon diri alasannya Abu Nawas sudah tahu jawabnya.



Previous
Next Post »

Post a Comment