Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Monday, July 1, 2013

Tawur Hasapa Dalam Kebudayaan Dayak Ngaju

Tawur dalam masyarakat Dayak Ngaju merupakan sebuah laris spiritual yang dilakukan oleh pemimpin adab dalam bentuk permohonan kepada sang pencipta. Dan alasannya permohonan atau doa ini dengan impian sanggup terkabulkan maka bahasa yang dipakai dalam ritual ini pun harus dengan memakai bahasa yang baku dan yang diyakini mempunyai kekuatan tertentu. Maka dari itu bahasa yang dipakai yaitu sebuah bahasa Dayak kuno yakni bahasa Sangen yang diyakini masyarakat setempat sebagai bahasa kesanghyangan (bahasa langit). Dengan bahasa yang baku dan mempunyai kesakralan tertentu itulah maka dibutuhkan akan ada pemaknaan yang sama antara sang pemohon dan sang termohon yakni Tuhan selaku pengabul doa. 

Laku ritual tawur sendiri ibarat makna etimologisnya yang berarti tabur atau menabur sesuatu maka pelaksanaannya pun tak jauh berbeda dengan makna etimologisnya yakni sebuah proses menabur sesuatu yang biasanya dengan media beras kuning yang dilakukan bersamaan dengan memanjatkan do’a yang dihajatkan insan ibarat meminta kesembuhan, keselamatan, syukur dan lain sebagainya. Namun, alasannya yang ingin saya bahas di sini hanya prosesi ritual Tawur Hasapa yakni sebuah media untuk mengukuhkan sumpah, maka tema ini akan saya persempit hanya untuk Tawur Hasapa saja. 

Tawur Hasapa ini sendiri bergotong-royong mempunyai tujuan yang hampir sama dengan Sumpah Pocong di Pulau Jawa yaitu sumpah yang dilakukan di hadapan insan dan Tuhan dalam hal kebenaran atas apa yang diingkari seseorang terhadap lainnya dan Sang Pencipta, hanya tentu dengan ritual dan prosesi yang berbeda. Dan alasannya Tawur Hasapa merupakan sebuah permohonan meminta keadilan (tepatnya petunjuk keadilan) terhadap dua orang atau lebih yang berseteru, maka ibarat halnya prosesi tawur lain, Tawur Hasapa pun memakai bahasa baku dan tidak berubah-ubah, baik secara gugusan maupun semantik. Karena konon apabila terjadi perubahan bahasa maka itu akan besar lengan berkuasa pada makna dan pemaknaannya yang berdampak kepada pengabulannya, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan otoritas untuk menghakimi sesorang atau “memutuskan dan mengirimkan” sebuah vonis sosial maupun moral bagi yang melaksanakannya. Pendeknya, Tutur Hasapa yaitu merupakan sebuah pengadilan adab yang dipakai pada orang-orang yang berperkara dan tidak menemui penyelesaian sehabis melewati lembaga-lembaga yang dibentuk insan pada masa lalu. 

Yang menarik dari upacara Tutur Hasapa ini sendiri yaitu bahasa Sangen yang digunakan. Bahasa ini merupakan sebuah bahasa yang mempunyai seperangkat kecerdasan linguistik yang hanya diwariskan secara ekspresi kepada para basir (pemimpin upacara adat). Bahasa ini sangat indah, penuh metaforis dan begitu berstruktur dalam pengucapannya. Sebagai contoh, untuk menyebut kata air diungkapkan sebagai nyalung kaharingan belum (zat alam yang menunjukkan kehidupan), hidup sebagai batang danum jalayan rengan tingang (sungai yang harus disusuri umur; kehidupan), dan nirwana sebagai lewu tatau habaras bulau habusung hintan hakarangan lamiang (sebuah kawasan yang kaya raya berpasirkan emas bergundukan intan dan berkerikilkan permata) dan lewu tatau ia rumpang tulang rundung raja ia kamalesu uhat hong batang danum tiawu bulau (sebuah kawasan yang kaya raya, kawasan di mana tidak ditemui keletihan dan kecapaian,di dunia yang lain yang penuh kegelimangan), Tuhan dilambangkan sebagai Raja Tuntung Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja yang Menguasai (atau berkuasa atas) Matahari, Raja yang Menguasai (atau Melebihi) kebesaran Bulan. 

Tawur Hasapa yang dulu pernah dipakai oleh Tjilik Riwut mewakili 142 Suku Dayak Pedalaman Kalimantan di hadapan Presiden Soekarno di Jogjakarta dalam bersumpah-setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (1993:349) ini mempunyai urut-urutan ritual ibarat yang tertuang dalam sebuah buku yang berjudul Worterbuch derPriestersprache der Ngaju Dayak, sebuah kamus bahasa Sangiang-Dayak Ngaju Indonesia-Jerman (1987) karya Baier dkk; (Seorang basir/pemimpin upacara adab duduk sambil menimang beras kuning dan kemenyan, kunir, rotan, abu, garam, dan minyak kelapa. Lalu kedua pihak yang berperkara saling memegang seutas rotan di atas sebuah kayu sebagai alasnya dan sehabis mengukuhkan sumpah berikut ia sambil memotong rotan diiringi kalimat-kalimat penyebutan nama-nama yang berperkara dan penaburan beras bertahap hingga habis dan diikuti dengan menabur bubuk dan garam) (Berdehem)….. "Ehem behas/mamparinjetku ganam/salumpuk kilau riak hendan bulau/namparuguhku labatam/pananterusan ruwan lantin rabia/lampang kamaitan gulung manarusan langit/timbuk kajayam/basikap mametas hawun/manuntung riwut raweiku/ manambing salatan tisuiku/mangat manyembang Raja Tuntung Matanandau/Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan/mangat Ie mahining/bulau tampak bengkele/manyantuh rantunan tanduke/manahingan rawei/hayak manantuneng/batantar sumpah tingang. Amun……(menyebut nama si yang berperkara) toh hangga auh tanjaru ia toto/ tatarawang kilau kawu/lenyoh kilau uyah/bageto kilau uei. Amun ie hanggap auh toto/te taloh jari bulau/untung panjang/rabia nyame ambu jari sapaungut belum/sapaling tahaseng/jari penyang/panundung tarung/patarung sariangkat tinting." 

Yang terjemahan bebas artinya kurang lebih sebagai berikut. "Ehem, beras kubangunkan rohmu/rohmu ibarat riak cahaya emas/kugoncangkan rohmu/arwah bercahaya ibarat kuning emas/timbul kemanjuran bergulung menerusan langit/menimbun kejayaanmu/bergerak berjalan menyingkap langit/meminta (kepada) angin panggilanku/supaya hingga (meminta kepada) Raja Tuntung Matahari/Raja Tambing Kebulatan Bulan/supaya Ia mendengar/(cahaya) keemasan telinganya/(manyantuh rantunan) puncaknya/mendengarkan perkataan/sekaligus mencermati/batantar sumpah orang (manusia)/. Kalau si……………. hingga (bersaksi) wacana kebohongan, tidak benar/(maka ia akan) beterbangan ibarat abu/hancur ibarat garam (menjadi air)/putus ibarat rotan (yang dipotong)/Kalau ia anggap benar perkataannya/(semuanya) akan menjadi emas (berkat)/rejeki tak putus-putus/menggenggam emas sepanjang hidupnya selamanya/panjang napas(nya) (panjang umur(nya))/menjadi berkat/menjadi jimat dalam mengangkat (harum namanya; terangkat harkat martabatnya)." 

Dan meski sehabis prosesi Tawur Hasapa ini, sang ketua adab tak melaksanakan / menjatuhkan vonis apapun terhadap yang berperkara, tetap saja prosesi ini menjadi sedemikian penting bagi yang berperkara, alasannya ibarat yang disebutkan dalam kalimat-kalimat di atas, waktu dan Tuhanlah yang kemudian akan memvonis siapa yang bersalah dan siapa yang tetap dalam kebenaran dengan cara memberi kelimpahan rezeki dan sebagainya terhadap yang benar dan menghancur leburkan hidup yang salah.

Previous
Next Post »

Post a Comment