Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Sunday, March 23, 2014

Rambu Solo; Sebuah Upacara Maut Dari Tanah Toraja

Tidak hanya pesta perkawinan yang dapat menelan biaya yang sangat besar, bahkan upacara simpulan hidup pun untuk beberapa suku dapat menelan biaya yang juga tidak sedikit bahkan hingga mencapai ratusan juta. Salah satu referensi upacara simpulan hidup yang menelan biaya cukup besar yakni salah satunya upacara Rambu Solo di tanah Toraja.

Upacara rambu solo yakni semacam perayaan atau upacara budbahasa untuk penghormatan terakhir sekaligus mengantar orang tercinta yang telah meninggal dunia menuju ke alam puya atau alam baka. Dan alasannya yakni ini merupakan upacara yang dilaksanakan demi untuk menghormati orang tercinta maka segala sesuatunya pun di buat semegah mungkin. Berpuluh-puluh kerbau dikorbankan, beratus-ratus babi disemelih, dan beribu-ribu ayam di potong untuk perayaan ini. Kerbau-kerbau dan hewan ternak lainnya yang akan dikorbankan ini diikat di sebuah pancang kerikil yang berjulukan simbuang batu. konon setiap keluarga mempunyai batu-batu ini dan diwarisi secara turun temurun dari mulai upacara rambu solo yang pertama ketika keluarga atau dinasti mereka meninggal. Dan biasanya semakin tinggi status sosial yang disandang keluarga mendiang maka semakin meriah pula perayaan rambu solo ini. Oleh alasannya yakni itu, alasannya yakni upacara dan perayaan ini menelan biaya yang sangat besar dan memerlukan waktu yang juga sangat panjang (bisa hingga berhari-hari) maka tak jarang perayaan ini gres dilaksanakan 6 bulan sehabis si mendiang meninggal. Kaprikornus ketika ada salah satu keluarga di Toraja tapi belum melakukan upacara rambu solo maka Walau secara medis orang yang bersangkutan telah dianggap meninggal dunia, menurut budbahasa istiadat Toraja, orang yang mati dianggap sedang tidur selama keluarga belum menjalankan upacara Rambu Solo dan masih diperlakukan layaknya orang yang menderita sakit.

Perayaan upacara Rambu Solo ini dibuka dengan berkumpulnya segenap keluarga dan kerabat sang mendiang untuk melantunkan syair kesedihan dalam tarian yang disebut mabadong. Tarian mabadong ini menyimbolkan bahwa betapa keluarga yang ditinggalkan oleh mendiang begitu berduka sekaligus mengenang kembali-jasa-jasa dia semasa hidupnya. Kemudian disusul dengan ritual berikutnya yaitu ritual Ma’tundan. Ma’tundan yakni sebuah prosesi untuk membangunkan arwah untuk diantarkan ke alam lain yaitu alam keabadian atau alam puya. Pada ritual ini suasana sedih begitu terasa alasannya yakni dengan dilaksanakannya prosesi ini maka arwah mendiang pun pergi meninggalkan keluarga untuk melanjutkan kehidupannya di alam puya.

Sementara itu disaat prosesi Ma’tundan ini berlangsung, di luar tepatnya di halaman lumbung padi diadakan ritual tumbuk padi yang dilakukan oleh para perempuan renta yang memilii keahlian menumbuk padi di lesung. Bunyi-bunyian yang keluar dari lesung inilah yang kemudian mengiringi jasad orang yang meningga tersebut untuk dipindahkan dari rumah sedih menuju rumah budbahasa tongkonan untuk disemayamkan selama satu malam. 

Maka, sanak saudara dan keluarga bekerjsama mengangkat peti mayit yang beratnya mencapai 100 kilogram untuk dinaikkan ke dalam rumah adat. Menurut budbahasa Toraja prosesi ini melambangkan penyatuan kembali mayit dengan para leluhurnya. Di dalam rumah adat, peti berisi jasad itu harus dijaga semalam suntuk oleh sanak keluarga.

Seiring dengan diangkatnya jasad mendiang ke rumah budbahasa maka digelarlah tarian budbahasa sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada mendiang. Kemudian kain merah yang disebut lamba-lamba sebagai lambang kebesaran suku Toraja pun dibentangkan untuk jalan yang akan dilalui oleh mendiang menuju alam puya. 

Setelah sampai, peti mayit pun diletakkan di bawah rumah budbahasa yang dipakai sebagai lumbung selama tiga malam. Peletakan mayit ke dalam lumbung selama tiga malam ini menerangkan bahwa jasad mendiang telah menuju pada fase simpulan hidup yang sebenarnya.

Previous
Next Post »

Post a Comment