Mengenal dan Memahami Budaya Indonesia, upacara adat, pelet, wayang, mitos dan legenda, rumah adat, pakaian adat, Asal Usul Sejarah Borobudur, Nenek Moyang, Tari Rumah Adat, Hindu, Budha, Islam, Majapahit, Merah Delima, Pusaka, Pocong, Kuntilanak, Nyi Roro Kidul

Saturday, November 14, 2015

Kembar Buncing

Di Bali ada sebuah watak yang unik bila ada penduduk desa melahirkan anak kembar yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan atau yang disebut oleh penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang renta dan bayi kembar buncing ini berdasarkan watak di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah darurat diatas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan, dikarenakan berdasarkan doktrin setempat bila yang bersangkutan menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa akan menerima kutukan atau memada-mada dari Ratu.

Tidak itu saja, sang orang renta ini pun masih harus menjalani beberapa prosesi watak lainnya demi membendung marah dari sang ratu. Lantas prosesi menyerupai apa saja yang harus dilalui oleh orang renta sang bayi kembar buncing ini sebelum alhasil diperbolehkan kembali kerumah miliknya. Kurang lebih inilah pembagian terstruktur mengenai singkatnya:

Kedua orang renta beserta bayinya diharuskan untuk keluar dari rumahnya dan pindah ke rumah darurat yang bangun di atas tanah Banjar Adat yang letaknya sempurna 800 Meter dari tanah pekuburan selama kurang lebih 3 Bulan, atau hingga yang bersangkutan melihat 3 kali bulan purnama. Selama dalam pengungsian, kedua orang renta sang bayi serta sang bayi sendiri tak diperbolehkan untuk melaksanakan perjalanan keluar desa. 

Sehari menjelang berakhirnya pengungsian atau pengucilan ini sang orang renta diwajibkan untuk melaksanakan upacara watak lainnya berupa upacara Pecaruan di Jaba Pura Desa. Dan sehari setelahnya sang orang renta bayi kembar buncing ini pun diharuskan pula melaksanakan upacara melasti ke laut/segara yang diyakini sebagai pelarungan segala kesialan. Pada upacara inilah si orang renta bayi harus merogoh kocek yang tidak mengecewakan dalam.

Dan sebagai ritual epilog terhitung sehari seusai melaksanakan upacara melasti selama 3 hari si orang renta bayi beserta bayinya bersembahyang di tiga Pura Desa yang memiliki Balai Agung Pegat. Dan seiring berakhirnya masa sembahyang di hari yang ketiga ini maka masa pengasingan ini pun selesai dan yang bersangkutan diperbolehkan kembali ke rumahnya atau melaksanakan perjalanan ke luar desa. 

Dari pembagian terstruktur mengenai singkat di atas saja kita tahu bahwa watak ini begitu memakan banyak waktu dan tentu juga biaya yang tak sedikit, makanya kini di Bali sendiri watak ini sudah mulai ditinggalkan, terlebih lagi dalam Awig-Awig Desa tak lagi ada potongan yang mengatur perihal kembar buncing ini, terlebih lagi melalui PERDA NO. 10 TAHUN 1951, pemerintah Bali secara resmi telah menghapus watak ini. Makara kalau pada masa kini masih ada penduduk desa di Bali yang tetap melaksanakan watak ini maka semata-mata hanya untuk pelestarian budaya dan watak warisan leluhur dan bukannya sebab takut akan memada-mada dan sebagainya.

Salah satu desa yang masih tetap melaksanakan watak ini yaitu desa Padang Bulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Kasus terakhir perihal kembar buncing ini dilaksanakan pada tahun 2004 oleh pasangan suami istri berjulukan Nengah Tarsa (34 th) dengan Ketut Susun (29 TH) yang melahirkan bayi kembar buncing. Dan sebab ini semata-mata menjalankan watak warisan budaya maka berbeda dengan dulu, watak ini pun mengalami banyak pelenturan menyerupai meski dalam masa pengasingan, warga atau tetangga tetap diperbolehkan untuk mendatangi dan bahkan setiap hari/malam penduduk desa dengan suka rela turut menunggui mereka di daerah pengungsiannya. Lebih dari itu baik untuk makan sehari-hari selama di pengasingan maupun biaya upacara watak banyak dibantu oleh penduduk hingga meskipun sedang menjalankan masa pengasingan yang bersangkutan tidak merasa dikucilkan bahkan sebaliknya merasa disayangi.

Previous
Next Post »

Post a Comment